Langsung ke konten utama

AWAL YANG MENYENANGKAN - ONE MONTH FULL OF ADVENTURE PART 1

"This is it" 
Kata-kata yang sudah kuucap beberapa kali sambil menghela nafas yang berat pagi itu. Ya, sudah tanggal 8 Oktober 2019, waktunya aku menenggelamkan diriku ke dalam petualangan selanjutnya di hidupku. Aku akan pergi ke sebuah sekolah yang terletak di desa kecil yang bernama Desa Pesawahan. Desa ini terletak di kecamatan Rawalo, Banyumas, Jawa Tengah, untuk sebulan.

"Galau Gaes"
 Wah perasaanku benar-benar campur aduk ketika mulai masuk TOL Becakayu. Aku masih ngantuk pagi itu, tapi aku tidak bisa tidur. Selalu saja setiap kali aku mencoba menutup mataku, pasti jantungku berdebar tambah kencang. Perutku juga sudah mulai mules-mules karena gelisah. Aku mencoba membayangkan diriku yang akan tinggal di tempat asing, dimana aku tidak mengenal siapa-siapa selain teman-temanku berlima ini yang sama-sama mengikuti program ini, selama satu bulan! Dan minim alat komunikasi! Ya! Tidak bawa handphone! Huhu kenapa sih galaunya tuh pas mau berangkat? Kan udah gaada go back - go back lagi.

"Wkwk Pada Lemes Semua"
Hal pertama yang kulihat ketika memasuki lahan parkir dari St. Pasar Senen adalah mobilnya Anja yang sedang parkir. Seketika jantungku langsung berdetak semakin keras. Saat itu papa memilih tempat parkir agak ujung, supaya bisa lebih dekat dengan gerbang masuk ke peron. Tak lama setelah mobilku berhenti, aku melihat sebuah sosok remaja perempuan dengan rambut sedikit keriting yang menggunakan jaket berwarna hijau toska dan sedang membawa-bawa tempat makan sambil mondar-mandir. Entah kenapa aku langsung terkekeh melihat wajah ribetnya Anja.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung turun dan menghampiri Anja & Kak Kristin. Ternyata Anja sedang menyiapkan bekal untuk makan siangnya. Itulah mengapa dia mondar-mandir sambil membawa tempat makan khasnya yang berwarna pink itu. 

Pagi itu ketika orangtua kami sedang berbincang dengan serunya, aku dan Anja hanya cengar-cengir dengan jantung yang berdegup kencang. Tak lama, Mobilio berwarna abu-abu muncul dari kejauhan dan pemilik mobilnya turun. Tambahlah ini jantung, udah kayak lagi disko. Entah mengapa, pasti kalau melihat temanku, sepertinya perjalanan sudah semakin dekat. Alev sudah datang, Anja juga sudah berkumpul bersama kami, waktunya menunggu Kaysan dan Naufal untuk hadir. 

 "Drrt drrt" suara mesin printer yang sedang mencetak tiket kereta kami. Disitu terlihat aku, Anja, dan Aglaya, adiknya Alev yang sedang menunggu tiket kami dengan nanar. Ingin rasanya aku melontarkan kata-kata lucu supaya memecah ketegangan kami, tapi aku tertawa saja tak sanggup. Aku tidak memikirkan apa-apa, isi kepalaku kosong, entah mengapa yang aku rasakan hanya ketegangan. 

Seusai kami mencetak tiket, sudah ada Naufal bersama keluarganya yang sedang ikutan berbincang dengan keluarga-keluarga lainnya. Tanpa menunggu lama, aku membagikan tiket ke masing-masing anak. Tinggal Kaysan yang belum hadir diantara kami. Sebetulnya aku malah berharap dia agak sedikit terlambat, supaya aku bisa lebih lama berada disini bersama keluargaku. Hehehe. 

Sepanjang obrolan orangtua-orangtua kami, Aku, Alev, Anja, dan Naufal hanya senyum dan angguk-angguk, dengan tatapan tegang. Kami mencoba untuk menenangkan satu sama lain, tapi hasilnya ya tidak tenang juga hahah. Untuk pertama kalinya ekspedisi tanpa gawai dan juga tanpa mentor, wajar kan kami tegang. 

Tak lama kemudian terlihat mobil bermerk Volkswagen yang sedang jalan menuju lahan parkir. Kami sudah tau siapa pemilik mobil itu. Ya, Kaysan & Kak Shanty. Dan kalau Kak Shanty sudah hadir, itu berarti kami sudah semakin dekat ke jurang. Bukannya semakin deg-degan, tapi kok aku malah plong ya? Mungkin karena aku udah pasrah. Pasrah dengan apapun yang akan terjadi nanti. Pasrah dengan jam berapa kami akan berangkat. Pasrah dengan semuanyaaa.

Terlihat sesosok laki-laki dengan badan sedikit ramping, dan dengan poni yang menutupi matanya, sedang turun dari mobil itu. Ia menggendong tas gunungnya yang berwarna hijau itu dengan raut wajah yang mengantuk. Kami yang sudah lama menunggunya, berharap sapa dan senyuman dari dia. Tapi yang kami dapatkan malah wajah yang tak enak dipandang. Bagaimanapun juga, dia tetap seorang remaja yang harus rela meninggalkan ibukota dan orangtua untuk sebulan, padahal Ia adalah seorang eksplorer menurutku. 

Melihat wajah teman-temanku yang memelas kasihan, membuatku seperti ditarik kepada magnet 'wajah lesu'. Dan disitulah kami sedang menggendong tas kami masing-masing sambil mendengarkan briefing dari Kak Shanty. Jujur, untuk eksplorasi ini sangat berbeda dengan eksplorasi-eksplorasi sebelumnya. Kami hanya mendapatkan informasi yang minim tentang tempat ini, informasi minim juga tentang mentor yang akan mendampingi kami disana. Dan briefing pagi itu juga tidak banyak menjelaskan tentang hal-hal ini yang belum kami dapatkan. Mungkin juga hal ini menjadi salah satu faktor mengapa kami tegang pada hari itu. 

"And Here We Go! I Guess.."
Setelah kami pamit-pamitan dan melakukan sesi foto bersama masing-masing keluarga, Aku, Anja, Kaysan, Alevko, dan Naufal akhirnya dipersilahkan untuk memasuki ruang tunggu kereta Jaka Tingkir dengan destinasi St. Purwokerto. Satu demi satu langkah yang aku buat membuatku tersadar bahwa ini dia! Ini dia langkah-langkah pertamaku untuk mencapai petualangan seru didepan. Aku menoleh ke belakang untuk melihat Papa, Mama, Lintang, dan Langit yang sedang menatapku dengan tatapan aneh yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mama terlihat bangga namun khawatir, begitu juga papa. Lintang & Langit, mereka sepertinya hanya peduli dengan handphoneku yang kutinggal dirumah bersama mereka. 



Aku tak boleh berhenti lama-lama dan hanya menatap keluargaku, jadi aku lanjutkan langkah-langkahku yang sekarang jadi berat, untuk masuk ke ruang tunggu. Wah ruang tunggu pagi itu sangat ramai. Sudah tak terlihat kursi yang kosong. Untung kami semua anak yang gampang, jadi duduk di lanti bukanlah masalah yang besar. 

"Bruuk" aku cukup kaget saat mendengar tas berisi buah tangan milik kami, ditaruh ke lantai oleh seorang porter yang tadi kami sewa. Hal ini membuat aku tersadar bahwa tas yang kami bawa tidaklah sedikit. Masing-masing anak membawa 2 tas, satu tas carrier besar untuk membawa baju, sleeping bag, dan hal-hal banyak lainnya, dan juga satu tas kecil untuk menjadi tas sehari-hari disana. Oh dan tas kecil yang kumaksud, sebenarnya juga bukan tas yang kecil. Hanya saja ukurannya tidak sebesar carrier kami yang kapasitasnya 50 liter lebih.

Waktu untuk menunggu kereta kami habiskan dengan berbincang-bincang tentang kegundahan kami masing-masing. Alev dengan kekonyolannya bilang kalau perutnya mules. Malangnya Alev, toilet di stasiun ini terletak sangat jauh dengan kami. Pagi itu aku berterima kasih kepada Alev, ia berhasil membuatku sedikit lebih tenang karena kelucuannya. Sepertinya teman-teman yang lain juga sudah mulai menikmati waktu selagi kami berbincang-bincang.

"Nit nit nit nit" suara alarm dari jam tanganku. Ternyata setelah obrolan kami yang tidak jelas, jam masih menunjukkan pukul 06.45 pagi. Hah?! Padahal sudah terasa sangat lama setelah kami berpisah dengan keluarga kami. Oh ya, kami sudah memesan tiket kereta yang berangkat pukul 07.00 pagi, supaya bisa melihat pemandangan dan juga masih bisa ikut berkegiatan sesampainya di Purwokerto.

Akhirnya tak lama setelah kegalauan kami yang tidak jelas, kami diperbolehkan jalan ke peron untuk menunggu kereta di dalam. Dan setelah kereta berhenti, kami segera masuk kedalam gerbong yang sudah ditentukan. Untung saja ada porter yang menunjukan gerbong mana yang seharusnya kami masuki. Dengan carrierku yang beratnya mungkin lebih dari 5 kg, sedikit susah memang masuk ke dalam berisan tempat duduk. Dan tentunya sangat sulit untuk menaruh carrierku ke tempat tas yang sudah disediakan diatas tempat duduk kami. Anja sampai harus membantuku mengangkat tas yang besarnya seperti karung beras 10 kilo itu. Setelah ribet dan rusuh menyusun tas dan tempat duduk, kami akhirnya bisa santai sambil bersandar di kursi.

"Pasraaahhh"
Persis pada pukul 07.00 pagi itu, kereta kami memulai perjalanannya. Anja yang sedang repot dengan kameranya, membuatkan menghela nafas pelan. Bukan, bukan karena aku keberatan melihatnya repot sendiri. Tapi aku lega, karena ada Anja yang paling tidak bisa membagi kegundahan bersama nantinya.

"Gimana nja perasaan lu?" tanyaku kepada remaja yang duduk didepanku itu. Jawabannya membuatku sedikit terkejut dan tenang juga disaat yang sama. "Yasudah Rat, udah gak bisa kemana-mana lagi. Masa iya mau kabur dari jendela?" katanya yang membuat kami berdua terkekeh.

Tanpa kami sadari, kok hanya aku dan Anja yang sibuk ngobrol sendiri? Wah, ternyata para kaum adam yang duduknya berseberangan dengan tempat duduk kami, sudah pada molor semua. Yah maklum, mereka biasanya bangun jam 9. Eh mereka? Aku juga deng hahahah. Entah mengapa pagi itu rasa kantukku sudah hilang. Galaunya juga sudah pamit tadi di St. Senen. Yang sekarang singgah malah perasaan pasrah.

Pasrah dengan mentor baruku disana. Pasrah dengan tempat tinggalku disana. Pasrah dengan teman-teman baruku disana. Pasrah dengan hidangan-hidangan yang akan aku santap disana. Pokoknya pasrah. Dan aku juga sudah menyadarkan diriku untuk tidak berharap apapun. Just do my best, and it must be worth it! Kata-kata tersebut menjadi peganganku disaat itu.

"Hihihi aneh ya, biasanya kalo lagi di jalan gini pasti ada Kak Shanty yang sedang ngebrief kita." celetukku yang membuat Anja terbangun dari lamunannya. Ia menyetujui perkataanku dan langsung mengubah bahan pembicaraan. Mungkin supaya tidak teringat terus dengan apa yang kami tinggal. 

"Anja pasti mematikan kalimat deh!"
Beberapa jam setelah kereta kami mulai jalan, Alevko terbangun dari tidurnya. Aku sempat menyapanya, tapi hanya dijawab dengan anggukan. Aku yang sedang makan bersama Anja masih seru memotret-motret pemandangan diluar jendela kereta kami. Suasananya pagi itu juga sudah mulai cair. Aku dan Anja sudah tidak banyak membicarakan tentang kaluarga kami dan apapun yang tidak ikut bersama kami.  



Alev tiba-tiba pindah tempat duduk ke sebelahku. Mungkin karena teman sesama lelakinya belum ada yang terbangun, jadi dia merasa kesepian. Aku mengusulkan untuk bermain permainan-permainan yang dulu sering aku mainin. Ya, sebelum aku punya hp dan hanya bermain games online. 

Permainan pertama yang kami mainkan adalah permainan yang biasa aku sebut "Jebot". Permainan ini membutuhkan minimal 2 orang, dan yang dibutuhkan hanya jempol kami. Tentunya juga butuh fokus dan kecekatan untuk memenangkan permainan ini. Setelah 15 menit kami bermain jebot, kok rasanya membosankan ya? Akhirnya kami memutuskan untuk bermain sambung kata.

"Paman, pergi, ke, pasar, ikan." Ahahahahahah tuhkan Anja pasti mematikan kalimat. "Coba kata lain dong nja, biar kita bisa sambung lagi" omel Alev yang seharusnya dapat giliran. Aku hanya terkekeh-kekeh saja melihat kelakuan kami yang heboh nan bar-bar ini. Satu gerbong, langsung penuh dengan suara tawa yang menggelegar. Untung saja hari itu keretanya sangat sepi, jadi serasa satu gerbong milik kami. Oh ya, mungkin suara canda tawa kami membangunkan Kaysan dari tidurnya. Padahal ia tertidur cukup pulas, dan sempat membuat rasa iseng kami memotretnya saat sedang tidur dengan mulutnya yang terbuka lebar. 

Awalnya saat melihat Kaysan yang baru bangun dengan wajah menyeramkannya itu, kami semua langsung terdiam. Untung Alev berinisiatif menyapanya terlebih dahulu. Tanpa basa basi, Kaysan beranjak dari kursinya dan pindah ke sebelahnya Anja yang selama ini kosong. Aku bisa melihat wajah paniknya Anja yang sedikit khawatir dengan eksistensi hidupnya karena macan yang galak sedang duduk disebelahnya. Ya, menurutku Kaysan sangatlah jutek kalau baru bangun. Tapi entah mengapa hari itu dia langsung ikut serta ke permainan yang baru saja kami mainkan. 

"Sebentar Lagi Kereta Anda Akan Tiba Di Stasiun Terakhir, Stasiun Purwokerto" 
Tak lama setelah tawa kami tambah kencang, karena permainan sambung katanya menjadi jauh lebih absurd ketika Kaysan memutuskan untuk bergabung, kami mendengar pengumuman yang membuat kami akhirnya tersadar bahwa kami harus cepat-cepat bersiap untuk turun dari kereta. 

Dan akhirnya pada pukul 12.20, kami turun dengan bantuan porter untuk membawakan tas berisi buah tangan yang akan kami bagikan disana. Setelah semua sudah beres dan tenang, kami keluar stasiun dan tinggal menunggu Kang Is untuk menjemput kami.

Kaysan yang sibuk dengan hp kecilnya itu, menunjukkan raut wajah yang kebingungan. "Kenapa kay?" tanyaku yang merasa sedikit khawatir. Walaupun aku tahu, pertanyaanku tidak akan dijawab olehnya. Dia hanya menggelengkan kepalanya, dan lanjut sibuk dengan hpnya itu. Setelah beberapa menit kami menunggu, sementara Kaysan sibuk bolak-balik entah kemana.

Kata Kaysan, Kang Is sedang menunggu kami di ATM dekat gerbang. Udara yang bisa dibilang cukup panas siang itu, membuat keringat membasahi punggung kami yang sedang membawa carrier. Dan juga karena berjalan sambil membawa tas-tas berisi buah tangan yang beratnya diluar kepala, membuat keringat kami tambah mengalir. 

Setelah bersusah payah mencari Kang Is, akhirnya kami bertemu untuk pertama kalinya di depan ATM Stasiun Purwokerto. Tak lama setelah berkenalan dengan Kang Is, kami digiring ke mobil Carry milik Pak Jatun. Dan ternyata mobilnya tidak muat untuk kami, kalau semua duduk di tengah. Jadi para lelaki duduk di depan, sementara aku sama Anja duduk dibelakang dengan tas kami yang menggunung.



"I Can't Believe it, We're Here"
"Ckiit, greeek" suara tarikan rem tangah dari Suzuki Carry yang kami tumpangi itu membuat kami terbangun dari tidur yang lumayan nyenyak. Kang Is segera turun setelah mobilnya berhenti, dan membuat kami ikut membuka pintu. Masalah pertamaku di hari itu adalah kakiku yang semutan membuatku sedikit pincang-pincang saat mengambil tasku dari bagasi mobil.

Terlihat bangunan yang memanjang dan juga terdapat saung yang sedikit menjorok kedepan, disebelah kanan kami yang sedang repot mengangkat carrier kami. Sementara disebelah kiri kami terdapat pepohonan yangrimbun. "Ah aku rindu desa seperti ini" kataku yang seketika teringat pada desa mbah uti di Karangpandan sana.

Tak lama setelah menikmati hawa disini, aku mendengar suara langkah sandal yang sumbernya tak begitu jauh dariku. Dan mulailah terlihat beberapa perempuan yang menggunakan kerudung tisak seragam, sedang turun dari bangunan memanjang tersebut. Mereka semua menjabat tanganku satu-satu. Tak lama kemudian para laki-laki remaja mulai menghampiri kami dan juga menjabat tangan kami satu-satu.

Kami dipersilahkan naik untuk menuju ke bangunan Sekolah Pakis. Hal pertama yang aku lihat setelah selesai memanjat tangga batu tadi, adalah 2 buah kolam ikan yang dipisahkan oleh jalan setapak yang akan membawaku ke kantornya Kang Is. Ternyata kami akan menginap disini untuk malam pertama kami.Ya, terdapat sebuah kamar kecil nyaman yang memang dipakai untuk tidur.

Biasanya yang tidur di kamar ini adalah kakak-kakak relawan yang sering mengajar teman-teman di sekolah ini. Karena memang mereka sering menginap di sekolah. Mungkin mereka sudah merasa bahwa sekolah ini seperti rumah kedua mereka.

"Mengenal Teman dan Makanan Baru"
Siang itu ketika kami hendak menyantap makan siang kami, Kang Is memanggil semua anak untuk berkumpul di gubuk literasi yang terletak beberapa meter dari sekolah. Ya, kami harus keluar dari kawasan gedung sekolah untuk menuju ke gubuk ini. 

Wah ternyata teman-teman Pakis sudah menunggu kami di gubug. Kang Is menyuruh kami untuk duduk dan memperkenalkan kami terlebih dahulu sebelum kami memperkenalkan diri kami masing-masing secara langsung. Ternyata Kang Is memiliki selera humor yang asik, menurutku. Ia senang bercanda dengan teman-teman Pakis dan kami juga. 

Setelah kami memperkenalkan diri, sekarang giliran teman-teman Pakis yang memperkenalkan diri mereka kepada kami. Dengan malu-malu mereka menyebutkan nama mereka masing-masing. Hal ini membuatku menjadi ingin tau mereka lebih dalam. Sepertinya mereka akan menjadi teman akrabku, perasaan itu tiba-tiba terlintas di benakku ketika mereka mulai tertawa-tawa dengan teman mereka. 

Dan tibalah saat untuk makan siang! Wah makanan kami siang itu mengingatkanku kepada warteg langgananku dan papa. Terlihat ada tumis kacang panjang, dan beberapa tumis sayuran lainnya dengan mendoan tempe bersama tahu. Perutku yang keroncongan akhirnya mendapat asupan. 

Mungkin karena kami kelaparan, jadi makan siang pada hari itu terasa sangat singkat. Nah setelah makan siang, kami diperkenalkan dengan cemilan khas desa sana yaitu ondol. Ondol ini terbuat dari singkong yang dibentuk bulat-bulat kecil dan digoreng sama renyah. Awalnya aku tidak begitu suka ondol, tapi lama-kelamaan lidahku malah menagihnya hahah. Aku suka ondol!

"Hahah, Biasanya Kalo Gabut Gini Kita Udah Main Hp Ya" 
Ternyata jadwal pulang teman-teman Pakis itu mepet dengan waktu kehadiran kami. Jadi hari pertama kami disini tak begitu banyak bersosialisasi dengan teman-teman baru. Akhirnya setelah pada pulang, kami berbincang-bincang ber-5 sambil bermain tenis meja. Dan aku baru menyadari bahwa aku tidak berbakat dalam bermain tenis meja.

Alev dan Kaysan sangat betah ketika sudah main tennis meja. Mereka menghabiskan waktu yang cukup lama untuk bermain, sementara aku, Naufal, dan Anja sibuk dengan buku jurnal kami masing-masing. Jurnalku di hari itu cukup singkat, sementara Anja menuliskan apapun yang dia tulis sampai berbaris-baris. Oh kalau Naufal, aku sangat yakin dia bukan menulis jurnal melainkan menggambar.

"Aduh udah kenyang nih, tapi bawa bekel" keluh Kaysan yang harus bertanggung jawab menghabiskan bekalnya. Untung bekalku hanyalah sandwich tuna bikinan mama. Jadi tidak begitu susah menghabiskannya. Aku dan teman-teman yang lain hanya menertawakan Kaysan yang susah payah menghabiskan spagettinya itu.

Jadilah kami menghabiskan sore itu dengan berbincang-bincang tentang tujuan kami kesini secara jujur dan juga rencana kami yang akan kami bagikan disini. Ternyata asyik ya ngobrol dengan teman tanpa gangguan handphone.

"Yuk Kang Is Ajak Jalan"
 Malam itu, ketika kami sedang merapihkan dan menyiapkan kasur kapuk untuk tidur, Kang Is tiba-tiba mengajak kami untuk jalan-jalan. Dengan bodohnya aku menyempatkan bertanya "sekarang kang?" yang hanya dijawab candaan oleh Kang Is. Akhirnya kami mengambil senter masing-masing dan membuntuti Kang Is yang sudah turun tangga batu depan sekolah.

"Disini nggak ada lampu jalan, Kang?" tanya Kaysan yang memang terlihat ingin tau. Kata Kang Is, tentunya ada tapi ya terbatas. Dan ternyata Desa Pesawahan ini masih memakai turbin sebagai energi listrik mereka. Sebetulnya PLN sudah masuk, jadi mereka memakai dua sumber untuk energi listrik.

Ternyata kami dibawa ke rumahnya Pak RT untuk izin sekalian memperkenalkan diri kami. Agak sungkan memang, bertamu ke rumah orang di malam hari seperti ini. Setelah menunggu sedikit lama, akhirnya kami dibukakan pintu dan dipersilahkan duduk di ruang tamu.



Kang Is membuka pembicaraan dengan bahasa jawa khas purwokerto. Aku sebagai anak yang dilahirkan di keluarga jawa bahkan tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh Kang Is dan Pak RT, dan terlihat dari raut wajah teman-temanku bahwa mereka lebih tidak mengerti apapun yang sedang dibicarakan.

Setelah beberapa menit mereka berbincang, akhirnya Kang Is menghadap ke arah kami dan mempersilahkan kami untuk memperkenalkan diri. Dan dilanjut dengan sambutan Pak RT yang khas. Pak RT memperkenalkan desanya secara tidak langsung, dan mulai menjelaskan bahwa masyarakat di desa ini semua adalah seorang petani. Dan kebanyakan dari tumbuhan yang mereka tanam adalah obat-obatan herbal terutama kapulaga yang bisa dikonsumsi dengan berbagai cara.

Benar-benar singkat waktu kami bertamu ke rumah Pak RT, hanya memperkenalkan diri, lalu mendengarkan sambutan dari Pak RT, sudah. Dan karena mulai muncul awkward silence, akhirnya kami memutuskan untuk pamit.

Malam itu setelah kami pamit dari rumah Pak RT, kami diajak ke rumah Kang Ali yang ternyata adalah seorang ustadz. Disana kami disuguh air putih hangat, yang membuatku tersadar bahwa orang-orang di desa ini sangat sederhana.



Di rumah Kang Ali, keadaan terasa lebih santai dan luwes. Kang Ali banyak menjelaskan tentang tenaga air atau hydropower yang masih dipakai sebagai sumber listrik.

Akhirnya kami menutup hari itu dengan kembali lagi ke sekolah, dan menulis jurnal kami sambil sedikit memikirkan bagaimana keadaan keluargaku yang jauh disana. Oh ya dan malam itu kami tidur di kama kecil itu berlima. Jangan dibayangkan.

Mau tau kelanjutan dari perjalananku? Tungguin tulisanku berikutnya ya, karena tulisan ini belum ada apa-apanya dibanding dengan pengalamanku di hari-hari berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertolongan Pertama Pada Keracunan Makanan/Minuman

Untuk tantangan ke-8, regu kami diberi tugas untuk mencari informasi tentang pertolongan pertama pada keracunan makanan/minuman. Pertamanya aku bingung mau bikin apa ya? Dan tidak tau akan menuliskan apa saja di tugas kali ini. Tapi setelah berunding bersama teman-teman seregu, kami membagi tugas, dan dalam waktu yang sangat singkat, tugas kami terkumpul semua. Setelah bingung-bingung mau buat apa, akhirnya aku memutuskan untuk membuat infografis yang simpel tapi jelas. Inilah infografisku, yang aku buat dalam 1 jam menggunakan aplikasi dari hp. Wah perjuangannya amat sangat lah pokoknya..

Kemping Ceria H2 - HARI YANG MENYENANGKAN

"SAHUUUUR SAHUUUUR!!!" "Duh yaampun, perasaan baru aja tidur!" pikirku pagi itu saat dibangunkan oleh salah satu teman laki-laki. Aku duduk, mengumpulkan nyawa, lalu teriak membangunkan teman-teman satu tendaku. "YAAAK SELAMAT PAGIIIIII!! YOK BANGUN YOK!!" yang dijawab dengan tendangan dari Adinda. Teman-teman satu tenda ku tidak ada yang bangun. Hanya Anja yang sudah duduk sambil mengucek-ucek matanya. Aku menepuk kakinya Michelle, Agla, dan kemudian Adinda. Tapi hanya dijawab dengan "HmmmMmmMMm" dari mereka. Tak lama kemudian, Khansa mendorong-dorong pintu tenda kami, berniat untuk membangunkan. Aku memang sudah tidak sabar keluar tenda dan melihat indahnya pagi hari disana. Berhubung yang lainnya masih belum termotivasi untuk bangun, aku keluar sendiri. Betul-betul indah pagi itu! Sebenernya sih masih gelap, tapi udaranya yang sejuk membuatku melupakan tugas-tugas! "AKHIRNYA AKU BISA JOGED!" Diluar, aku bertemu Tata, Katya, dan

Tantangan Mini Exploration (Observe Them All 2)

#tantangan2 jilid 2 #observethemall Aku memilih ibu penjual soto untuk aku wawancarai karena aku sudah berlangganan di soto itu dari aku masih kecil sekali. Soto yang ibu itu buat sangat enak, kuahnya bening berwarna kuning, gurihnya pas, dan setiap kali kesana, pasti tidak pernah bosan. Ibu penjualnya sangat ramah, jadi sering mengobrol bersama aku, mama, dan juga papa. Warungnya yang dulu dan sekarang sangat berbeda. Dulu warungnya sangat sempit, dan sekarang sudah diperlebar. Tapi ada yang tidak berubah, yaitu dari dulu sampai sekarang, ibu penjual soto selalu memanggil namaku “Lastri” padahal namaku “Ratri”. Dari aku berumur 3 tahun, sampai aku berumur 13 tahun, tetap saja ibu penjual soto memanggil aku “Lastri”. Malam sebelum aku mewawancarai ibu penjual soto, aku membuat daftar pertanyaan terlebih dahulu supaya aku tidak canggung di depan ibu penjual soto. Isinya antara lain: 1.        Ibu namanya siapa? 2.        Sudah berapa lama berjualan soto? 3.        K