Langsung ke konten utama

MULAI ADA DUKA - ONE MONTH FULL OF ADVENTURE PART 4


Sedikit Informasi: Desa Karanggondang
Penuh dengan penduduk yang saling mengenal satu dengan yang lainnya, desa ini menjadi salah satu desa yang asri dan indah. Penduduk Desa Karanggondang selalu ramah kepada orang asing yang mengunjungi tempat tersebut. Dan yang menjadi hal unik mengenai desa ini adalah, hampir semua orang di Desa Karanggondang, masih memiliki ikatan darah. Mereka semua adalah kerabat. Jadi jikalau berpapasan dengan orang di jalan, mereka pasti mengenal satu dengan lainnya.

Pemerintah sering kali melirik desa yang memiliki 6 RT dalam 1 RW ini. Karanggondang sering mendapat bantuan seperti sembako, Kartu Indonesia Pintar, BPJS, bahkan PLN sudah masuk ke pelosok. Walaupun PLN sudah tersedia, biasanya mereka juga masih menggunakan turbin untuk jaga-jaga. Untungnya sampai sekarang, belum banyak penduduk yang mengeluhkan PLN, sebab listriknya selalu nyala sementara sebaliknya jika menggunakan turbin.

Kebanyakan penduduk laki-laki dari Desa Karanggondang ini bekerja sebagai tukang/kuli bangunan (di luar kota) dan petani (di desa), sementara penduduk perempuannya ada beberapa yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (di luar kota) dan petani (di desa). Kebanyakan dari mereka juga memiliki ternah ayam atau kambing, oleh karena itu kebiasaan pagi para penduduk pastinya adalah mengarit rumput untuk makan ternak.

Dadaah ibuu
Alunan adzan subuh pagi itu membangunkanku dari mimpi indah. Mengingat hari ini adalah hari pindahan, aku harus cepat-cepat beranjak dan mulai bersiap serta packing ulang. Seperti biasa, aku ditinggal Anja di kamar sendiri, dan repot packing ulang baju-baju serta perlengkapan kameraku di dalam gelap. Dan setelah semua selesai, aku mulai beranjak dan pergi menghampiri ibu yang sedang menggoreng tempe mendoan. 

Basa basi pagi itu tidak terlalu basi, sebab aku sudah merasa nyaman di rumah Nur dan merasa dekat dengan ibu, jadi aku meminta untuk diajari memasak tempe mendoan (padahal benar-benar sangat mudah, aku hanya tidak bisa memasak apapun wkwk). Tak lama setelah aku mencoba memasak tempe dan martabak mie khas Nur, Anja akhirnya keluar dari kamar mandi dengan rambut dililit handuk. 

Ibu bergegas menuang air panas ke ember di toilet dari panci besar. Aku kira air terebut adalah untuk Nur mandi pagi, ternyata setelah ibu kembali dari toilet, ibu menyuruhku untuk cepat-cepat bersiap untuk mandi, takut airnya cepat dingin. Owalah ternyata untukku toh?


Semua tas sudah siap, waktunya sarapan! Sepertinya sudah kebiasaan ibu dan keluarga, untuk sarapan dengan berbagai macam lauk. Pagi itu kami sarapan dengan kangkung, tempe mendoan, dan martabak mie bikinan Nur. Aku sangat terkesan dengan martabak mie ini. Sepertinya menu ini adalah salah satu masakan yang akan kucoba bikin dirumah, dan pasti adik-adik akan sangat menyukainya. 

Setelah makan, kami berpamitan dengan ibu yang sudah menggunakan baju yang biasa ia gunakan untuk mengarit rumput. Makanku cukup lahap pagi itu, dan membuatku menjadi bertenaga saat melewati tanjakan menuju sekolah.


Baju masih banyak
Pagi itu ketika akhirnya kami sampai di sekolah, aku langsung duduk di kursi kantor, dan berbincang sebentar dengan Kang Is yang sudah kembali setelah pengamatan burung di Solo. Kaysan juga sudah datang dan ikut berbincang dengan kami. Ditengah pembicaraan kami, Anja keluar dari kamar sambil membawa baju kotornya dan pergi menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. 

Dan karena aku sedang baik, aku mengekorinya sampai toilet. Ternyata ia mau mencuci bajunya. Aku langsung teringat dengan baju-baju kotorku tapi kemudian ingat juga dengan baju bersihku yang masih berlimpah. Sehingga aku memutuskan untuk hanya membantu Anja tanpa mencemplungkan baju-baju kotor milikku. 

Ada juga life hack untuk para pembaca jurnalku ini. Jadi yang pertama adalah jangan terlalu sering mengganti baju, celana, dan segala-galanya. Walaupun mandi, gunakanlah baju yang sudah digunakan tadi/kemarin. Kalau basah karena berkeringat, ingat ini sangat penting! Jemur saja pakaiannya, aku jamin akan kering walau sedikit penguk. Kalau tidak kuat dengan bau penguk? Pakai parfum! Kalau tidak punya parfum? Pinjam parfum milik temanmu! Kalau temanmu tidak mau meminjamkan? Ganti teman! Simpel sebetulnya, hanya saja banyak manusia yang memilik jalur ribet dengan mencuci pakaiannya.

Sepertinya Anja tidak menerapkan life hack milikku yang sudah aku jelaskan kepadanya beberapa kali. Makanya itu dia harus ribet-ribet nyuci baju di pagi hari yang seharusnya dihabiskan untuk quality time dengan teman. Nah ini malah quality time sama baju dan detergent.

Evaluasi dengan Kang Is
Hari itu kelompok kami belajar tentang UUD 1945 dan hak serta kewajiban menjadi warga Negara Indonesia. Sayangnya teman-temanku tidak begitu tertarik kepada pelajarannya, jadi kami mengganti pelajaran ke IPA. Karena aku digabung menjadi satu kelompok dengan Anja, jadi kami memisahkan lagi menjadi 2 kelompok kecil di dalam satu kelompok besar. Aku memegang Juni dan Nur yang sudah duduk di kelas 9 SMP, dan Anja mengajar Fatul, dan Tia. 

Untungnya tema di bab yang sedang mereka pelajari adalah tema yang seru untuk dibahas. Aku, Nur, dan Juni membahas tentang hewan-hewan yang menghasilkan atau memiliki aliran listrik dalam/di tubuhnya. Mereka aku minta untuk memilih 1 hewan penghasil listrik favorit mereka dari buku LKS IPA yang sedang kami gunakan. Lalu aku minta mereka untuk membaca keterangan tentang hewan pilihan dan menceritakan ulang apa yang telah mereka baca.

Juni memilih Hiu Martil sebagai hewan penghasil listrik favoritnya. Sementara Nur memilih hewan yang bernama Echidna sebagai hewan favoritnya. Sayang informasi yang tertera di LKS, begitu singkat dan tidak lengkap. Sementara kami tidak punya akses internet untuk mencari tau lebih dalam tentang hewan-hewan ini. Padahal akan sangat menyenangkan untuk belajar dengan internet.


Setelah kami semua selesai dengan tugas dan kesibukan masing-masing, kami semua diminta untuk berkumpul di tengah kelas, dan melakukan evaluasi bersama dengan Kang Is. Awalnya, kami diajarkan untuk membuka forum, supaya kami bisa terbiasa berbicara didepan orang yang banyak. Akhirnya Dian yang membuka forum dengan elegannya. Sepertinya dia sudah biasa berbicara didepan banyak mata.

Karena sudah seminggu kami disini, Kang Is ingin melakukan refleksi mingguan. Kami semua diminta untuk merangkum dan mencatat kegiatan apa saja yang telah kami lakukan bersama teman-teman sekelompok. Kang Is juga memperbolehkan kami untuk diskusi bersama teman-teman sekelompok tentang kegiatan kami masing-maisng. 

Setelah semua sudah menyelesaikan rangkumannya, Kang Is meminta 2 perwakilan dari setiap kelompok untuk maju ke depan dan mempresentasikan kegiatan kami selama satu minggu ini. Sialnya aku dan Anja adalah, kami masuk di kelompok pertama. Jadi otomatis, kelompok kami yang dipanggil pertama. Aku bangun dari kursi kayu kecil yang aku duduki, dan berjalan dengan pasrah ke depan kelas.

 Kang Is sudah menaruh kedua tangannya di atas keyboard milik laptopnya, ia kemudian mengangguk untuk memberikan aku tanda untuk mulai bicara. Akhirnya aku mulai, dan menjelaskan panjang lebar tentang aktivitas kami seminggu ini. Teman-teman juga ikut menambahkan dari tempat duduk mereka masing-masing.


Setelah semua kelompok maju dan presentasi, Kang Is beranjak dari kursi dan mulai mempersiapkan dirinya untuk memberi kami feedback. Ia menjelaskan bahwa menurutnya, setiap kelompoknya belum memiliki ikatan/chemistry yang begitu kuat. Dan dari apa yang kudapatkan dari penjelasan dan feedback yang Kang Is berikan, adalah sepertinya Kang Is ingin kami hanya memperkuat pertemanan di dalam kelompok masing-masing. Padahal menurutku, lebih baik jika kami berbaur ke semua orang, walaupun beda kelompok sekalipun. 

Dan mungkin juga karena beberapa teman di sana sudah nyaman dengan kelompok mereka masing-masing, sehingga susah untuk berbaur dengan teman baru. Walaupun begitu, sebenarnya kami semua mencoba cukup keras untuk bisa dekat satu dengan lainnya. Memang baru seminggu juga kami disini, jadi mungkin belum maksimal.

Lalu, ada beberapa hal yang disebut oleh Kang Is, supaya kami kembangkan. Yang pertama, kerja sama. Mungkin Kang Is melihat kami masih beraktivitas dan masih mementingkan kepentingan individu. Jadi masih kurang kontribusi ke orang/lingkaran lain. Kemudian, yang kedua adalah komunikasi. Contoh yang paling solid dan terlihat adalah kasus Alev yang minggat wkwk. Kang Is sempat mengangkat permasalahan tersebut. Kemudian membuat kami merasa bersalah. Yang ketiga ada 2, yaitu share dan care. Karena kalau kita sudah care atau peduli, pasti dengan mudahnya kami bisa share atau membagikan apapun untuk mereka yang kita pedulikan.

Gantian
Setelah refleksi, kami akhirnya membicarakan tentang tempat untuk kami menginap berikutnya. Dikarenakan Alev dan Naufal belum kuat menginap dan harus berjuang sendiri di rumah asing, Kang Is memutuskan untuk menggabung mereka di rumah berikutnya. Supaya semua rumah masih bisa ditempatkan, aku dan Anja berpisah diri. Anja akan pergi ke rumah Nia, dan aku akan menginap di rumah Fatul. Sementara Alevko dan Naufal akan tinggal di rumah Rizal yang dekat dengan rumah Nia. Kalo Kaysan, aku lupa sebenarnya.
Karena semua sudah kebagian rumah, kami turun ke warung Biyung Rinten untuk membeli sembako yang akan kami beri kepada keluarga kami nanti. Kami sempat berebut telur, karena kami kira stock telur di warung biyung sudah mau habis, tapi ternyata biyung masih punya banyak telur.

Dan setelah semua sudah siap, kami menunggu giliran untuk berangkat ke rumah masing-masing. Aku dan Anja diantar oleh Kang Is dan Mas Indra menggunakan motor bebek. Malam itu kabut sedang sangat tebal, dan mampu membuat rambutku basah diperjalanan.
Dari sekolah ke rumah Fatul, jalanannya nyusruk bukan main. Kakiku benar-benar tidak bisa menahan badanku untuk tetap di ujung motor. Akhirnya Mas Indra harus memajukan dirinya sampai sudah diujung jok. Ia membantuku untuk mundur sedikit, namun bukannya ke belakang, aku malah makin jatuh ke punggung Mas Indra. 

Untung setelah cukup lama setelah kakiku menderita karena menahan badanku, kami akhirnya sampai di rumah milik pak RW. Kami masuk dan langsung disambut dengan Fatul dan ibu yang sedang menggendong anak ketiganya. Ya, Fatul adalah anak dari ketua RW Desa Karanggondang. Dan tak pernah kusangka akan tinggal di rumah ketua RW Desa Karanggondang.

Tidur aja mbak
Aku disuguh makan malam oleh ibu, malam itu. Camilan juga tak henti-hentinya diberikan padaku. Sayangnya ibu dan bapak tidak begitu talkative denganku. Sepertinya mereka sangat menganggapku sebagai ‘tamu’ yang harus dihormati dan selalu disuguh dengan makanan-makanan. Padahal aku sangat tidak ingin merepotkan ibu dan bapak.

Malam itu setelah makan dan membersihkan diri, aku mengajak Fatul untuk menonton film yang aku download sebelum pergi ke Banyumas. Ada beberapa film, namun yang Fatul pilih adalah sebuah film yang diproduksi oleh Ghibli yang berjudul A Graveyard of Fireflies. Filmya memang berdurasi cukup panjang, dan kami mulai nonton ketika sudah lumayan larut. Belum sampai tengah film, kami sudah mengantuk, bahkan kepala kami sudah mengangguk-angguk tak berdaya.

“Tul, kamu udah ngantuk belum? Mau dilanjutin besok aja filmnya?” tanyaku yang sedikit kasian dengannya yang sepertinya sudah sangat ngantuk. Dengan cepat kilat, Fatul langsung mengangguk, dan berbarik di kasurnya. Sementara aku membereskan laptop milik sekolah yang kami pinjam. Aku membawa flashdiskku ke kamar, dan langsung berbaring sampai sudah tidak dasar.

Merasakan apa yang mama rasakan dulu
Suara ketokan pintu depan membuat aku dan Fatul menghentikan pembicaraan kami. Jam setengah enam, sudah ada yang mengetuk pintu? Yaampun ternyata Anja dan Nia sudah menunggu kami di depan rumah dan sudah siap untuk berangkat sekolah. Aku saja belum membereskan tasku, yang berantakan karena semalam asal masukin baju ke dalam tas. 

Akhirnya kami jalan ke sekolah di hari yang sangat pagi. Pengalaman baru yang kualami saat itu adalah, menghampiri rumah teman-teman yang dekat untuk berjalan bersana ke sekolah. Ada beberapa rumah yang kami samper, yang pertama, rumahnya Tri yang 
terletak sangat dekat dengan rumah Fatul, kemudian kami menghampiri rumah Ratna yang berada di sebelah rumah Tri. Kemudian ada beberapa rumah lagi yang kami datangi untuk mengajak berangkat bareng.

Aku langsung teringat cerita mama dulu ketika masih SD, sebelum sekolah pasti selalu menghampiri rumah teman-temannya, supaya bisa berangkat sekolah bersama. Dan justru itu yang membuat mama semangat sekolah. Sekarang aku sangat bisa merasakan apa yang mama rasakan dulu ketika masih SD. Seru ya ternyata..

Perjalanan dari rumah Fatul ke sekolah cukup jauh. Oh bukan cukup, sangat jauh! Mungkin bisa mencapai 2 km kalau diukur. Dan masalahnya jalanan di desa ini sangatlah tidak datar. Tanjakan dan turunan selalu kami temukan dimana-mana. Benar-benar tidak ada jalanan datar untuk mengistirahatkan kaki yang lelah menanjak.

Coba dulu aja
Setelah evaluasi kemarin, jujur aku sedikit bingung bagaimana memulai kelas dengan cara yang baik. Jadi kami memutuskan untuk memulai aktivitas dengan berdoa. Sedikit aneh memang untuk pertama kali, karena biasanya kami langsung mulai saja tanpa memulai secara formal. 

Hari ini karena aku tidak punya ide untuk mengajar, dan sepertinya aku sedang mengalami homesick juga. Terakhir kali mengobrol dengan mama & papa juga sudah hampir seminggu yang lalu. Biasanya setiap hari kami berbincang, mulai hari hal yang sangat tidak penting, sampai ke obrolan yang sangat serius. Pasti selalu saja ada hal-hal kecil yang mengingatkanku kepada keluargaku, dan langsung membuatku ingin menangis. Untung aku bisa menahan air mataku, supaya tidak menetes di depan orang-orang. 

Karena tidak ada ide, hari ini aku putuskan untuk membebaskan mereka dalam membuat puisi atau slogan tentang hal yang mereka sukai. Karena Anja membawa spidol dengan berbagai warna, aku perbolehkan mereka untuk menghias hasil puisi mereka sebanyak-banyaknya. Walaupun awalnya mereka bingung harus menulis apa, tapi setelah aku beri contoh, akhirnya mereka mulai mengalir dalam penulisan puisinya. 

Juni menulis slogan tentang Elang Jawa, karena memang top 1 hal yang paling ia minati adalah burung. Kemudian Nur menuliskan puisi indah tentang Telaga Kumpe. Tia menuliskan puisi juga tentang cita-cita serta mimpinya. Dan Fatul, menuliskan puisi tentang sekolah yang ia cintai.

 

 

Semua tulisan mereka ini sangat beragam dan unik, apalagi ditambah dengan hiasan-hiasan yang mereka gambar di setiap suduk kertasnya. Awalnya, mereka sedikit malu-malu untuk meminjam spidolnya Anja, namun ketika aku keluarkan semua spidolnya, mereka langsung terlihat sangat semangat dan seolah-olah ingin mencoba semua warna dari spidol milik Anja itu.

OH NO LUPA BAWA BAJU!
“mbak bisa ngetik 10 jari?” tanya Tia, anak yang selalu ingin tahu itu, kepada Anja yang sedang berbincang denganku di lantai. Terus terang, aku sedikit terkejut karena inilah kali pertama mereka bertanya kepada kami. Dengan cepat kilat, Anja bangun dan bergegas menghampiri laptop untuk latihan mengetik dengan 10 jari dengan baik dan benar. 

Dengan sabar, Anja melatih jari-jari Tia supaya terbiasa mengetik dengan posisi ini. Sayangnya Tia sangat cepat bosan dengan apa yang dilakukannya, jadi dia menyerah ditengah latihan. Tapi, ternyata selama Tia berlatih mengetik, ada banyak teman-temannya yang berkumpul yang memperhatikan Anja dan Tia. Aku menawarkan mereka apakah juga mau mencoba, menyenangkannya, mereka semua mengangguk kepalanya dengan semangat. 

Terjadilah, sore itu kami berlatih mengetik dengan 10 jari sampai mampu. Sementara yang perempuan berlatih mengetik, para laki-laki malah menonton film Avengers: End Game di seberang. Lucunya, mereka hanya mengulang/menonton part final battle di akhir film. Sepertinya part itu adalah part favorit mereka, tidak bosan-bosannya mereka mengulang part tersebut. Bahkan Alevko dan Kaysan yang baru seminggu disini sudah merasa bosan dengan bagian itu.


Tak terasa sudah pukul 14.00 sekarang, waktunya pulang dan kembali “belajar di rumah”. Kami sudah sangat semangat untuk bergegas pulang, namun hujan merintikkan dirinya dengan sangat deras. Kami sempat ragu untuk melanjutkan perjalanan, tapi kami harus pulang bukan? Teman-teman Pakis malah bertambah semangat ketika hujan turun semakin deras, karena sepertinya sudah lama setelah hujan terakhir.

Fatul membuka payung yang dibawanya dari rumah, kemudian mendekatkan payungnya itu padaku. Celana panjangnya juga sudah digulung sampai lutut. Aku kemudian menggunakan jas hujanku, dan mencoba menggulung celanaku juga, namun celanaku tetap kembali memanjangkan dirinya. Ah yasudahlah, aku akhirnya berjalan dengan celana panjang sampai mata kakiku. 

Kami bersenang-senang siang itu, ada juga sekali-kali kami menendang air dan juga dibalas oleh cipratan air. Perjalanan pulang kami itu terasa licin namun seru, untung saja aku masih bisa mempertahankan kestabilan badanku sehingga tidak membiarkan diriku jatuh ke air yang mengalir di sepanjang jalanan beraspal ini. Sungguh siang yang tak akan pernah kulupakan.

Tiba-tiba saja jantungnku terasa seperti jatuh sedikit dari dadaku. Aku merasa seperti sudah melupakan sesuatu. Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri, namun aku masih belum bisa mendapatkan jawaban. Aku mulai mencari clue dari barang-barang disekitarku. Kemudian aku melihat celana Anja yang walaupun digulung, sekarang sudah basah itu. 

“AH AKU LUPA BAWA CELANA GANTI” teriakku kepada Anja yang sedang bermain-main dengan payungnya itu. Dia malah menertawakanku sambil melihat celanaku yang sudah basah kuyup karena tidak bisa digulung. Aku merasa sangat kecewa dengan diriku. Karena aku sudah membayangkan mie rebus hangat, kemudian mengganti celanaku yang basah ini ke celana pendek yang nyaman, dan berbincang dengan Fatul dikamar sambil menikmati the hangat. Semuanya tak akan pernah terjadi karena kebodohan diriku ini. 

Sepertinya Lia mendengar teriakanku tadi, dan memberitahunya kepada Fatul. Tak lama setelah aku mengeluh karena kebodohanku ini, Fatul mendekatiku dan menawarkan pinjaman celana milik ibunya. Karena ia hanya memiliki rok-rok panjang dan ia tau aku tidak akan mau memakainya. Aku pastinya menolak tawarannya itu, dan mulai membangunkan otakku untuk memberikan ide-ide briliannya.

Ingin rasanya dipeluk mama & papa
Otakku sepertinya sudah lelah dengan diriku, ia tidak bisa memuat ide-ide menarik. Mungkin sinyalnya lagi jelek ya. Ah andai saja ada orangtuaku, aku akan langsung mendapatkan ide-ide kreatif milik papa dan omelan-omelan yang panjang milik mama. Sesaat ketika aku mulai memikirkan papa & mama, mataku mulai berair. Berpikirlah positif rat, mungkin matamu terkena air hujan. Ya, not a big deal. 

“Hik hik” isakku pelan saat mulai menurunkan payung yang sedang kugunakan. Aku membiarkan tetesan hujan meneteskan dirinya di pipiku supaya tangisanku dapat terlihat samar. Kalau hidung merah? Aku mengakalinya dengan alasan sedang pilek karena hujan. Ratri, you’re a genius!

Tak lama kemudian kami sampai dirumah, Anja dan Nia masih harus melanjutkan perjalanan yang sedikit jauh untuk sampai ke rumah. Aku harus mulai berpikir jernih dan melupakan mama & papa untuk sejenak. Aku tidak boleh menangis di depan ibu, takutnya nanti dikira tidak betah seperti Alevko di rumah Heri waktu itu. 

Ibu menyuruh kami untuk makan sebelum mandi, jadi kami menurut. Ibu menyajikan makanan di meja makan, sementara aku dan Fatul bermain dengan Ria adiknya. Ibu juga memberikan teh hangat supaya bisa menghangatkan badan kami. Kami kemudian makan dengan lahap, karena memang sudah kelaparan.


Aku mengambil handuk dan baju ganti, kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Aku sudah tidak bisa menahan gejolak di dalam hatiku. Air mataku langsung mengalir dengan derasnya, dadaku penuh dengan isakkan, dan pikiranku hanya tertuju kepada keluargaku (dan sedikit kepada celana basahku ini). Kakiku juga mulai lemah dan membuatku menjongkok sambil memeluk handuk serta baju gantiku yang sekarang sudah ikutan basah. Aku menyalakan air supaya isakanku tidak didengar oleh orang lain. 

“Aku tidak marah, aku tidak menyesal mengikuti perjalanan ini, aku tidak buru-buru mau pulang, aku hanya rindu” bisikku yang sedang berjongkok sambil berpegangan kepada ember dengan air mengalir disebelahku. Andaikan mama dan papa bisa mendengar ini, semoga mereka tidak mengkhawatirkanku. 

Aku anak yang kuat kok, aku bisa kok, pikirku didalam hati. Hingga akhirnya aku berdiri dan mulai menggunakan ide-ide kreatif yang biasa papa usulkan. Aku memeras celanaku dengan sangat kuat, hingga tetesan air terakhir keluar. Kemudian aku menjemur celanaku di bamboo yang tertelak didalam kamar mandi. Kemudian aku memperlambat proses mandiku supaya celanaku punya sedikit waktu lagi untuk mengeringkan dirinya. Setelah mandi, celanaku masih terasa sedikit basah, jadi aku keringkan dengan handuk. Untung celanaku berbahan quick-dry, jadi tak perlu memakan waktu yang sangat lama untuk mengeringkannya. 

Terkunci di luar
"Ah mas yang ditengah!"
"Nggak, kan tadi angek yang mau ditengah"
"Ahhhh mamaaa, mas nakal!!"
Akhirnya aku yang mengalah dan duduk ditengah, supaya Lintang dan Langit bisa melihat jendela sendiri-sendiri. Sementara itu mama yang duduk didepan dan papa yang menyetir, sedang sibuk berdiskusi tentang politik yang sering kali aku timpali dengan ke-soktahu-an aku ini. Kami semua bersorak-sorak ketika papa nekat masih menjalankan mobil dengan gigi 2 di jalanan yang menanjak dan berbatu-batu. Adik-adik mengeluarkan setengah badan mereka dari jendela yang dilarang oleh mama, namun sangat disarankan oleh papa-

"nit-nit-nit" aku membuka mataku, dan melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 4.30 pagi. Waktunya untuk kembali beraktivitas. Mungkin karena kelelahan semalam, aku tidak berkegiatan lagi dan langsung tidur. Malam itu, Fatul tidur denganku di kamar yang sama. Seingatku, ketika aku sudah mau tertidur, Fatul masih asyik dengan handphonenya. Maka ketika aku sudah bangun, ia masih tertidur pulas. 

...

Seperti hari-hari biasanya, kami disamper oleh Anja dan Nia pada pukul 5.30 pagi. Kemudian, kami menghampiri rumah-rumah teman yang lain dan akhirnya berangkat ke sekolah sambil mengobrol di perjalanan yang menanjak dan menurun ini.

Wah ternyata Kaysan sudah sampai sekolah bersama Bagas dan Resa yang sedang bermain tennis meja. Kami yang masih kelelahan, langsung melempar tubuh kami ke kursi yang tersedia di kelas. Aku kembali tertidur karena masih ngantuk, sementara Anja dan Kaysan sedang menunggu pembawa kunci kantor. 

Pagi itu mereka sangat butuh ke toilet, namun toilet dengan pintu yang benar-benar aman hanyalah toilet yang terletak didalam kantor. Toilet lain memang memiliki pintu, tapi pintunya tersebut tidak bisa dikunci bahkan ada yang pintunya harus diangkat terlebih dahulu untuk menutup biliknya.

Kami semua mengira bahwa kunci kantor sudah dibawa oleh Naufal. Lho ternyata ketika Naufal sampai sekolah, ia bilang kuncinya sudah dikembalikan kepada Kang Is. Anja dan Kaysan kembali galau setelah sempat lega melihat Naufal.

Yaudah, maunya gimana?
Siang itu kami semua mendapatkan vibe yang sama, yaitu tidak ingin belajar di kelas. Maka dari itu, aku, Naufal, dan Alev memutuskan untuk mengajak teman-teman ke lapangan dan belajar gerakan-gerakan dasar di Taekwondo. 

Ternyata yang terkumpul di kelas hanyalah anak-anak yang perempuan, entah kemana perginya para laki-laki, siang itu. Dan tidak sedikit dari mereka yang menggunakan rok. Yasudahlah kita coba dulu, pikirku yang mulai ragu apakah mereka bisa menendang target menggunakan rok panjang seperti itu. 

...

Lapangan terasa sangat panas hari itu, memang mentari sedang menyinar sangat terik diatas kami. Untungnya kami memilih waktu yang tepat. Belum terlalu siang, dan sudah tidak mendung seperti pagi tadi. 

Sesampainya di lapangan, para perempuan itu malah berteduh dibawah pepohonan yang sedikit rimbuh di pojok lapangan. Alevko sudah terlihat pesimis, begitu pula diriku, namun paling tidak kita mencoba terlebih dahulu. 

Aku mulai memanggil nama mereka satu - persatu, dan mereka mulai datang mendekati kami yang berada ditengah lapangan. Aku merasa sangat tidak nyaman dengan 'vibe' yang diberikan oleh teman-teman pakis saat itu. Mereka selalu menyetujui ajakan-ajakan belajar dari kami, tapi mereka selalu menampakkan raut wajah yang tidak enak dilihat. Sehingga kami berfikir dan berasumsi, mungkin mereka tidak tertarik dengan hal yang kami ajarkan. 

Kali ini, aku mencoba untuk menarik mereka supaya menyukai Taekwondo. Alev menyuruhku memimpin pemanasan yang biasa kami lakukan kalau mau latihan Taekwondo. Teman-teman mengikuti dengan baik, masalahnya hanya satu. Mereka menggunakan rok panjang yang membuat dirinya susah bergerak. Maka dari itu aku meminimalkan gerakan pemanasan, supaya mereka dapat mengikuti dengan baik. 


Kemudian, aku meminta Alevko untuk menunjukkan tendangan-tendangan basic yang akan ditiru oleh yang lain. Sayangnya Alev merasa tidak nyaman jika ada yang menontonnya saat menendang target yang sudah kupegang. Akhirnya aku yang mencontohkan beberapa tendangan basic. Naufal terkadang memberikan usulan tendangan yang selalu saja dijawab dengan gelengan kepala oleh Alevko. "Gak bisa lah, ap chagi dulu aja" jawaban Alev, ketika Naufal memberikan usul.


OLEEEENG
"Lev, ide buruk ternyata" bisikku kepadanya saat melihat teman-teman sudah tidak enjoy menendang target. Ada yang izin, duduk dibawah pohon, ada yang semangat tapi pakai rok, jadi tidak bisa menendang. Akhirnya semua frustasi. Semua lelah dan kesal.

Aku tidak lagi mengusulkan apa-apa siang itu. "Oke, jadi kalian gak suka belajar Taekwondo, sekarang kalian mau apa? Karena ini belum jam pulang, kalian belum boleh pulang" tanyaku pada mereka. Dan seperti yang kita kira, mereka menjawab "terserah". 

"Oke, kalau gitu kita balik ke kelas, trus ngerjain soal ya?" tanyaku, dan langsung dijawab oleh gelengan dan surakan tidak setuju. Kemudian Sis memberikan usul untuk ke Telaga dan mencoba perahu untuk pertama kalinya.

Wah ide bagus sih, akhirnya kami semua turun, walaupun ada yang sudah tidak bersemangat mengikuti aktivitas kami siang itu. Sepertinya mereka ingin ke kelas dan hanya menghabiskan waktu dengan mengobrol. Tapi kan kami ingin setiap waktu mereka bersama kami akan menjadi hal tak terlupakan. 

...


Satu - persatu dari kami masuk ke dalam perahu dan mulai mendayung. Dibagian belakang perahu ada Pak Kuswadi yang sedang mendayung perahu kami supaya dapat jalan sesuai arah. Didepan perahu, ada Anja yang juga sedang membawa dayungan untuk ‘membantu’ Pak Kuswadi sampai kelelahan hahah.



Sepertinya ini adalah kali pertamanya Anja mendayung perahu, jadi kadang ia mendayung dengan sangat heboh. Dan kehebohannya tersebut membuat kami ikutan panic dan ketakutan. Sementara kami khawatir dengan eksistensi hidup kami, Anja malah tertawa-tawa dengan bahagia di depan kami sambil mengayun-ayunkan dayung yang ia genggam tersebut.

Sejarah Telaga Kumpe
Sesaat ketika kami menyelesaikan perjalanan menyenangkan menggunakan kapal, aku merasa ingin tahu sejarah tentang Telaga Kumpe ini. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Pak Kuswadi tentang keingintahuanku ini. Dan dengan kebiasaan wawancara yang sudah dilatih dari beberapa tahun yang lalu, aku membuka pembicaraan.

“Wah saya sudah lama sekali menjaga Telaga ini, dek” jelasnya dengan antusias. Kemudian beliau mulai menjelaskan dengan panjang tentang sejarang Telaga Kumpe legendaris ini.
Pak Kuswadi telah menjaga Telaga Kumpe selama 10 tahun sekarang. Katanya dulu, telaganya belum sebagus ini. Telaga Kumpe sudah ada sejak sangat lama, namun ditumbuhi dan dipenuhi oleh tumbuhan kumpe yang berkembang biak dengan pesat. Lalu sekitar 3 tahun yang lalu, akhirnya para penduduk setempat sepakat untuk bekerja sama dan merapihkan Telaga Kumpe supaya bisa dijadikan tempat wisata yang dikelola oleh penduduk Desa Pesawahan. 

Akhirnya berkat penduduk-penduduk yang telah merapihkan dan membersihkan telaga, peresmian pun diadakan pada tanggal 1 awal tahun 2019. Sekarang, Telaga Kumpe telah menjadi salah satu destinasi wisata yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan. Biaya untuk berkunjung juga sangat terjangkau. Untuk masuk ke area wisata, cukup bayar Rp 5.000. Sementara untuk mengelilingi telaga menggunakan perahu, hanya bayar Rp 5.000 sudah bisa sepuasnya menjelajah Telaga Kumpe.













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertolongan Pertama Pada Keracunan Makanan/Minuman

Untuk tantangan ke-8, regu kami diberi tugas untuk mencari informasi tentang pertolongan pertama pada keracunan makanan/minuman. Pertamanya aku bingung mau bikin apa ya? Dan tidak tau akan menuliskan apa saja di tugas kali ini. Tapi setelah berunding bersama teman-teman seregu, kami membagi tugas, dan dalam waktu yang sangat singkat, tugas kami terkumpul semua. Setelah bingung-bingung mau buat apa, akhirnya aku memutuskan untuk membuat infografis yang simpel tapi jelas. Inilah infografisku, yang aku buat dalam 1 jam menggunakan aplikasi dari hp. Wah perjuangannya amat sangat lah pokoknya..

Kemping Ceria H2 - HARI YANG MENYENANGKAN

"SAHUUUUR SAHUUUUR!!!" "Duh yaampun, perasaan baru aja tidur!" pikirku pagi itu saat dibangunkan oleh salah satu teman laki-laki. Aku duduk, mengumpulkan nyawa, lalu teriak membangunkan teman-teman satu tendaku. "YAAAK SELAMAT PAGIIIIII!! YOK BANGUN YOK!!" yang dijawab dengan tendangan dari Adinda. Teman-teman satu tenda ku tidak ada yang bangun. Hanya Anja yang sudah duduk sambil mengucek-ucek matanya. Aku menepuk kakinya Michelle, Agla, dan kemudian Adinda. Tapi hanya dijawab dengan "HmmmMmmMMm" dari mereka. Tak lama kemudian, Khansa mendorong-dorong pintu tenda kami, berniat untuk membangunkan. Aku memang sudah tidak sabar keluar tenda dan melihat indahnya pagi hari disana. Berhubung yang lainnya masih belum termotivasi untuk bangun, aku keluar sendiri. Betul-betul indah pagi itu! Sebenernya sih masih gelap, tapi udaranya yang sejuk membuatku melupakan tugas-tugas! "AKHIRNYA AKU BISA JOGED!" Diluar, aku bertemu Tata, Katya, dan

Tantangan Mini Exploration (Observe Them All 2)

#tantangan2 jilid 2 #observethemall Aku memilih ibu penjual soto untuk aku wawancarai karena aku sudah berlangganan di soto itu dari aku masih kecil sekali. Soto yang ibu itu buat sangat enak, kuahnya bening berwarna kuning, gurihnya pas, dan setiap kali kesana, pasti tidak pernah bosan. Ibu penjualnya sangat ramah, jadi sering mengobrol bersama aku, mama, dan juga papa. Warungnya yang dulu dan sekarang sangat berbeda. Dulu warungnya sangat sempit, dan sekarang sudah diperlebar. Tapi ada yang tidak berubah, yaitu dari dulu sampai sekarang, ibu penjual soto selalu memanggil namaku “Lastri” padahal namaku “Ratri”. Dari aku berumur 3 tahun, sampai aku berumur 13 tahun, tetap saja ibu penjual soto memanggil aku “Lastri”. Malam sebelum aku mewawancarai ibu penjual soto, aku membuat daftar pertanyaan terlebih dahulu supaya aku tidak canggung di depan ibu penjual soto. Isinya antara lain: 1.        Ibu namanya siapa? 2.        Sudah berapa lama berjualan soto? 3.        K