Menghangatkan Diri Sembari Masak Air
Di pagi hari sebelum matahari sempat memperlihatkan dirinya, terlihatlah dua remaja yang sedang tidur berdempat-dempetan di sebuah kamar kecil yang setengah luasnya sudah dipenuhi oleh lemari pakaian, dan diatas kasur yang tidak datar. Remaja yang satu menggunakan sleepingbag-nya dengan nyaman, sementara yang satu lagi hanya berbalut jaket gunung dan memakai kaos kaki untuk melindungi jempolnya yang menggigil.
Dan pada jam 04.00 pagi, remaja yang menggunakan jaket gunung itu terbangun. Ya, remaja itu adalah aku. Kesalahan pertamaku selama ekspedisi ini adalah, membawa sleeping bag yang besarnya bisa memenuhi satu tas. Jadi aku tidak bisa membawa sleeping bag ke rumahnya Nur, karena aku hanya membawa satu tas berukuran nanggung.
Tetapi aku berterima kasih kepada jaketku -dan kaos kakiku- karena tanpa mereka, aku tidak akan merasakan kedinginan dan terbangun tepat waktu. Oh dan aku juga ingin menyampaikan terima kasih kepada adzan subuh yang berkumandang dari mushola sebelah rumah, yang membuatku kaget dan sempat tidak menyadari keberadaanku saat itu.
Tanpa menunggu lama setelah aku benar-benar terbangun, aku mecoba untuk membangunkan Anja yang masih tertidur pulas didalam sleeping bagnya. Entah mengapa pagi itu ia sangat sulit dibangunkan, sepertinya sedang mimpi indah. Sementara itu ketika Anja sudah bangun, dia langsung lompat dari sleepingbag, dan meninggalkanku sambil keluar kamar sendiri. Jujur, aku sangat bingung dengannya. Tak ada bicara apapun, dia langusng buru-buru keluar.
Suara beradunya sutil dan wajan memenuhi rumah Nur pagi itu. Ternyata ibu sudah bangun, dan Nur juga sudah duduk di kursi kecil dekat tungku yang sedang memasak sesuatu. Ternyata tugas Nur setiap pagi itu adalah memastikan bahwa api di tungku itu selalu stabil dan besar. "enak ya Nur kalo di dekat tungku, hangat" kataku sambil berjongkok disebelahnya.
Selama kami jongkok di dekat tungku, ibu menjelaskan mengapa kalau di desa ini semua masih punya tungku di dapur, walaupun sudah punya kompor gas. Ternyata tungku ini digunakan hanya untuk memasak air. Karena air yang biasa dimasak itu jumlahnya banyak, cukup boros kalau memasaknya menggunakan kompor gas. Jadi kompor gas ini hanya digunakan untuk memasak makanan-makanan.
Men, capek men
Memang semua orang di desa itu sepertinya memulai hari sangat pagi ya. Jam 04.00, Nur bangun dan membantu ibunya memasak, lalu jam 05.00 adalah jam untuk mandi dan bersiap-siap sekolah, Jam 06.00, Nur sudah mengantar Elisa, sang adik untuk ke sekolah. Karena kami semua sudah siap berangkat dari jam 06.00, seselesainya Nur mengantar adiknya, kami langsung pergi sekolah.
Namun sebelum berangkat, biyungnya (nenek) Nur mengundang kami untuk mampir sebentar kerumahnya. Aku pikir kami sudah mau terlambat, tapi kata Nur sebaiknya kami mampir dulu. Akhirnya kami jalan ke rumah paling ujung dari gang rumahnya Nur. Wah dekat sekali ternyata rumahnya biyung. Dan rumah biyung ini adalah sebuah warung, jadi selalu saja banyak ibu-ibu yang kerumahnya biyung kalau pagi.
Disana kami disuguh oleh mie goreng yang biyung buat ketika kami disana. Aku baru menyadari kalau orang-orang yang tinggal di daerah ini selalu menyuguh tamunya dengan makanan. Makanan berat ataupun snek pasti disajikan untuk tamu. Huhu, bagaimana mau kurus kalau begini caranya?
Akhirnya setelah makan dirumah biyung, kami beranjak dan berangkat sekolah. Masih ingat kan betapa curamnya turunan yang kuceritakan kemarin? Aku mengira (dan berharap) kami akan lewat jalanan lain. Namun aku salah, kami harus lewat tanjakan yang curam itu untuk menuju ke sekolah! Untung aku tidak membawa begitu banyak barang, jadi aku masih bisa selamat dari tanjakan maut itu.
Sebenarnya jarak dari rumah Nur sampai sekolah sama sekali tidak jauh. Hanya saja medan yang sangat menanjak itu membuat kami lelah. Nur terlihat sangat santai saat kami berjalan di tanjakan maut itu. Sementara aku dan Anja sudah berkeringat dan ngos-ngosan hahhah, memang anak jarang olahraga ya begini deh hasilnya.
Tak lama setelah kami melewati medan yang berbahaya (lebay) tersebut, kami akhirnya sampai di pertigaan jalan besar. Dari sana, kami melanjutkan perjalanan dengan menerobos hutan. Karena kami sudah merasakan tanjakan maut tadi, perjalanan melalui hutan ini sudah tidak ada apa-apanya lagi. Aku hanya khawatir jika hujan, jalanan ini pasti sangat licin. Yah semoga saja kami tidak pernah hujan-hujanan saat berangkat atau pulang sekolah.
Waduh kok bubrah?
Hari itu, Kang Is sudah tidak ada di kantor. Seperti kataku kemarin, Kang Is dan Juni sedang mengikuti acara pengamatan burung di Solo. Jadi ketika aku, Anja, dan Nur sampai di sekolah pada pukul 07.45, sekolah masih sangat sepi. Sebenarnya aku tidak tahu apakah ini karena Kang Is tidak ada di sekolah, atau memang banyak yang telat karena apapun yang terjadi di rumah mereka masing-masing.
Jam sudah menunjukkan pukul 08.15, namun ternyata tidak banyak yang hadir. Ya sudah kalau begitu, hari ini kami ngobrol-ngobrol saja di kelas. Kami banyak membicarakan tentang hobi kami lalu kebiasaan kami di rumah masing-masing. Memang pada saat hari kedua, kami telah membicarakan hal-hal ini, namun kemarin kami hanya mengobrol di satu kelompok. Nah kali ini aku mau tau tentang hobi-hobi dan cerita-cerita dari teman yang diluar kelompokku.
Pekerjaan orangtua mereka kebanyakan adalah petani atau kuli bangunan. Biasanya yang bekerja sebagai kuli bangunan adalah sang ayah. Jadi banyak dari mereka yang ayahnya sedang diluar kota, bekerja sebagai kuli bangunan. Sementara itu ibu dari teman-temanku banyak yang menjadi ibu rumah tangga, dan sering mengarit untuk makan kambing peliharaan mereka.
Mengetahui cerita-cerita mereka yang menarik ini, membuatku ingin tahu lebih banyak. Sayangnya mereka masih suka malu-malu untuk bercerita banyak. Jadi aku harus selalu menggali mereka dengan pertanyaan-pertanyaanku. Namun aku kadang sungkan, sepertinya aku mengganggu mereka dengan pertanyaan-pertanyaanku, jadi aku hentikan dulu 'sesi wawancaranya' hari itu.
Saat teman-teman perempuan mengobrol denganku dan Anja, para lelaki dengan heboh dan serunya bermain tennis meja. Wah mereka terlihat sangat serius, bahkan mereka menggunakan skor saat bermain. Sudah seperti pertandingan saja. Mereka juga cukup menghibur, dengan meminta tolong untuk mengambilkan bola mereka yang menggelinding ke kolong kursi yang kami duduki.
Nah itu kunci C, bukan G
Hari sudah mulai siang dan teman-teman semua menolak untuk belajar. Aku merasa tidak berguna. Mau memaksa mereka untuk belajar, juga sungkan. Yasudah aku memutuskan untuk bermain gitar milik sekolah, dan mencoba menggarap lagu baru. Tak lama setelah gejrenganku mulai kencang, Tia menghampiriku dengan pelan.
"Bisa main gitar, mbak?" tanyanya dengan raut wajah yang malu. Aku berhenti menggejreng gitarnya, dan tanpa menjawab pertanyaan apapun, aku suruh dia untuk duduk di sebelahku. "Mau coba belajar?" tanyaku yang langsung dijawab "Ora teyeng mbak lah" (gak bisa lah mbak) olehnya. Aku tahu walaupun dia menjawab seperti itu, dia sebenarnya mau mencoba.
Aku pelan-pelan meletakkan gitar diatas pangkuannya, membetulkan postur, dan memindahkan tangannya ke atas gitar yang sekarang sudah ada di atas pangkuan Tia. Wajahnya amat riang, seperti sudah tidak sabar memetik senar gitar ini. Aku mulai mengajarkannya cara memetik dan menggenjreng gitar dengan benar. Posisi tangan yang benar juga aku tegaskan padanya.
Namun Tia terlihat mulai bosan karena yang ia pelajari hanyalah penempatan tangan dan cara memetik senar gitar. Sepertinya ia mau langsung mengetahui kunci-kunci yang bisa ia pakai untuk menyanyikan lagu. Oh ya, Tia ini memiliki hobi bernyanyi, jadi ia sangat tertarik kepada alat musik juga, sayangnya ia tidak bisa memainkan alat musik apapun.
Akhirnya aku mulai memberitahu kunci-kunci dasar yang ada pada gitar. Asumsiku ternyata benar, sesaat ketika aku mulai menunjukkan kunci-kunci dasar, wajahnya kembali berseri-seri. Dia langsung mencoba memainkan kunci C. Lama-kelamaan, kunci yang ia mainkan sudah mulai enak didengar. Lalu aku tunjukkan kunci G, dan begitu juga yang terjadi. Ia terus-menerus menggenjreng kunci G. Walaupun sudah enak didengar, tetap saja kadang bosan harus mendengar orang memainkan satu kunci terus hahah.
Karena sangat bangga terhadap dirinya, Ia mulai menunjukkan skill yang baru saja ia pelajari pada teman-temannya. Namun sayang ia terbalik menyebut kunci G dan C. Yah, tidak apa-apa lah namanya juga baru belajar kan?
Pulang
Hari sudah semakin siang, dan sampai pada saat pulang sekolah. Kalau dulu saat aku masih sekolah, aku pasti selalu minta mama atau papa untuk menjemput sedikit telat karena mau main di sekolah. Tapi berbeda dengan anak-anak pakis, setelah diberitahu sudah waktunya pulang, mereka langsung bergegas merapihkan tas dan berjalan pulang.
Di perjalanan menuju rumah, kami berbincang-bincang tentang drama yang terjadi tadi di gubuk literasi. Ya biasa, drama soal cinta hahah.Tapi aku berterima kasih kepada drama ini, karena tanpanya mungkin aku masih kurang akrab dengan Tia dan Nur. Ternyata kadang gosip itu punya dampah positif.
Setelah kami berpisan dengan Tia yang rumahnya sedikit lebih dekat dari sekolah, kami melanjutkan pembicaraan tadi sambil berjalan. Lama-kelamaan topik pembicaraan kami sudah mulai habis, namun perjalanan masih sedikit panjang. Nur mulai berjalan didepan kami. Ia berbadan kurus dan jangkung, kulitnya coklat, dan pipinya terkadang merak karena terlalu sering berada di bawah matahari. Setelah kuamati, Nur ini adalah seseorang yang pemalu (walaupun tidak ketika bersama temannya), ia juga merupakan anak yang memiliki pemikiran yang sedikit berbeda dengan teman-temannya, dan menurutku itu adalah hal yang unik dan menarik. Ia memiliki hobi menulis dan mengarang cerita, tak perlu kujelaskan betapa indahnya tulisan-tulisan hasil karyanya.
Sesampainya kami dirumah, ibu langsung menggiring kami ke dapur untuk makan siang. Padahal tadi siang saat istirahat, aku dan Anja sudah diundar ke rumah David untuk makan siang bersama. Seperti yang semua sudah tahu, kami tidak mampu menolak ajakan ibu, apalagi ibu sudah repot-repot masak untuk kami. Jadi aku dan Anja langsung mengambil piring dan mulai menyendok nasi dari rice-cooker.
Siang itu, ibu memasak pecel dengan aneka sayur-sayuran rebus, oh ya dan jangan lupa mendoan. Di setiap hidangan apapun, pasti tempe atau tahu mendoan selalu tersedia. Walaupun semuanya sama-sama tempa dan tahu yang ditepungi, terkadang rasanya berbeda. Ada yang hambar, ada yang asin, ada juga yang pedas karena ada potongan cabai di adonan tepungnya.
Ibu membuka pembicaraan ditengah santapan kami. Aku yang tadinya sedang megamati aquarium yang berisi ikan milik adiknya Nur, langsung menoleh ke ibu yang sedang berbicara. Katanya, di dekat sini ada tempat wisata yang sering orang luar desa kunjungi. Namanya Tempat Wisata Bukit Gondang. "Disana ada ikan besar gitu, bisa juga naik ke bukitnya, ngeliat kampung-kampung disini" tambah ibu, sementara kami masih mengunyah sambil mendengarkan. Terdengar menarik sih, jadi ibu menyarankan untuk cepat-cepat bersiap dan diingatkan supaya tidak lupa membawa camera.
Ayo Elisa semangat!!
Sore itu kami berjalan ditemani dengan terik matahari dan juga udara sejuk Desa Karanggondang. Jarak dari rumah Nur ke tujuan kami tidak begitu jauh. Bahkan bisa dibilang dekat. Nur mengajak 2 temannya untuk ikut, dan menikmati sore diatas bukit. Alhasil, terkumpul 7 orang yang berjalan ke Bukit Gondang. Ada ibu, Nur, aku, Anja, Elisa, dan kedua temannya Nur yang tidak begitu banyak ngobrol denganku.
Sesampainya di lokasi, kami langsung menuju ke kolam ikan Arapaima Gigas yang terletak disebelah kolam renang. Tak terbayangkan olehku untuk berenang di udara yang selalu sejuk ini. Namun ketika kami tiba, ada beberapa anak yang masih menggunakan celana merah khas SD, yang sedang bermain air di dalam kolam renang.
Jujur, keadaan kolam Arapaima saat itu sangat menyedihkan. Air yang digunakan sangatlah kotor dan keruh. Jadi, kalau dilihat dari atas, ikannya hanya terlihat samar-samar. Lalu taman yang ada disekeliling kami sedikit kurang perawatan. Mungkin juga karena sedang musim kemarau, jadi banyak bungs yang godong dan coklat.
Kami tidak begitu tertarik dengan tempat-tempat yang disediakan di bawah, jadi kami memutuskan untuk memanjat 337 anak tangga dan menikmati keindahan Desa Karanggondang dari atas. Awalnya aku sempat khawatir karena takut tidak kuat menaiki tangga yang banyak ini. Aku juga mengkhawatirkan Elisa dan ibu.
Satu per-satu anak tangga yang kami pijak, membuat kami merasa langsung lebih tinggi. Bahkan di tengah perjalanan, aku sudah kagum dengan indahnya pemandangan yang kulihat. Ketika sedang berkagum-kagum ria, terdengar ada suara rengekan anak kecil yang sumbernya tak jauh dari tempat aku berdiri. Ternyata itu Elisa yang sedang mengeluh karena lelah. Bujukan-bujukan untuk berputar balik selalu ia tolak, namun semakin lama ia berjalan, semakin banyak keluhan yang ia keluarkan.
Karena kami sudah tidak punya cara untuk membujuknya, kami harus cari cara lain untuk membuat Elisa bisa meneruskan perjalanan. Dari atas, kami berteriak el-yel spontan untuk menyemangati Elisa. Walaupun ia tidak bertambah cepat, paling tidak ia tersenyum sambil kelelahan hahah.
Tarik nafas, buang nafas
"Satu lagiii, yak sampaiii!" sorakku dengan gembira ketika selesai mengangkat kakiku dari anak tangga terakhir. Ternyata tempat kami saat itu benar-benar tinggi! Kami bisa melihat seluruh desa dengan jelas. Kota Purwokerto juga terpampang dengan indah.
Disana sudah disediakan beberapa spot untuk foto. Hehe tapi buatku, spot-spot itu terlalu mainstream dan yah bukan styleku lah.. Jadi selama disana, aku menghabiskan waktu dengan mengambil beberapa foto bukit-bukit yang sejajar dengan kami, dan juga mengambil beberapa foto yang dimodeli oleh Anja.
Sore itu benar-benar waktu yang membuat otak serta hatiku seperti di restart. Semua terasa lebih segar dan baru. Dibantu dengan angin yang berhembus dengan santun kearahku, dan juga dengan cahaya mentari yang mulai pamit, aku akhirnya bisa menikmati perjalananku ini. Kelak cerita-cerita tentang pengalamanku disini akan kusampaikan ke anak dan cucuku nanti. Terima kasih ibu, telah mengusulkan kami untuk berkeunjung ke Bukit Pasir Angin yang terletak di area wisata Bukit Gondang.
Udah mulai terbiasa
Pagi dari hari kedua aku menginap di rumah Nur, aku merasa sangat fresh walaupun kedinginan. Mungkin berkat tidur nyenyak semalam karena kelelahan memanjat bukit. Hal pertama yang kulihat ketika aku keluar kamar, adalah ibu yang sedang merebus air untuk kami mandi. Huhu, ibu baik banget.
Karena pagi itu kami bangun sedikit telat, aku langsung bergegas mandi dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Sementara aku dan Anja menyiapkan tas kami masing-masing, Nur berangkat mengantar Elisa dengan motor, dan ibu berangkat ngarit. Sertiap pagi, memang jadwalnya ibu mengarit di hutan supaya bisa memberi makan kambing peliharaan.
Oh ya omong-omong peliharaan, Elisa ini memiliki binatang peliharaan yang jumlahnya sangat banyak dan beragam spesies hewan. Ia memiliki puluhan belalang yang dikurung di baskom dan toples. Ia juga memiliki kurang lebih 8 ekor ikan yang dipelihara didalam aquarium. Ayam juga menjadi binatang peliharaannya, sang ibu tidak tega untuk menyembelih ayamnya karena Elisa sangat menyayangi ayam tersebut. Kura-kura sawah juga ia pelihara, namun entah mengapa tempurung kura-kura ini ditumbuhi jamur, dan selalu bisa menghibur kami karena bentuknya.
Setelah Elisa diantar, dan Nur kembali ke rumah, kami langsung berangkat menuju sekolah. Tak tahu mengapa, hari ini kami melewati tanjakan maut itu dengan sangat mudah. Mungkin efek menaiki 337 anak tangga kemarin ya? Dan akhirnya setelah 15 menit perjalanan, kami sampai sekolah
Gimana Menurut Kalian?
"Udah jam delapan, yuk kita mulai?" seru Anja pada kelompok kami yang sedang ngobrol-ngobrol. Suara Anja itu ternyata sampai ke telinga semua orang, jadi kami semua langsung beranjak dan memulai kegiatan. Karena di kelas, suasananya sangat bising, aku memutuskan untuk mengajak kelompokku dan Anja belajar di Gubuk Literasi. Supaya bisa belajar dengan tenang dan segar.
Jadwal pelajaran hari itu salah satunya adalah kesenian. Dan setelah kuintip LKS milik mereka, ternyata pelajarannya sangat membosankan. Jadi aku mengusulkan untuk membuat lagu. Untungnya disambut dengan cukup meriah oleh teman-teman.
Di setiap kalimat yang kulontarkan, aku selalu bertanya pendapat mereka. Sayangnya mereka hanya mengangguk-angguk saja untuk jawaban dari pertanyaan apapun. Akhirnya aku minta mereka yang menulis. Dan ternyata hasil dari kolaborasi teman-teman ini sangat mengejutkan.
Kami membuat lagu tentang sekolah Pakis, yang cara pendidikannya berbeda dengan sekolah-sekolah lain. Memiliki ruang yang luas dan bebas untuk belajar, tidak harus dikelas atau di aula, mereka dapat belajar di alam. Sepertinya hal itu adalah hal-hal yang paling berkesan bagi mereka yang bersekolah di Pakis. Beginilah lagunya:
Verse:
Memberi ilmu, pada temanku
Bercanda riang, tawa bahagia
Belajar bebas, di alam luas
Ruangku besar, tak terbatas
Bridge:
Kita selalu bahagia
Belajar bersama
Reff:
Karena ilmu dimana saja
Bisa kucari dan kubagi
Masa depanku semakin dekat
Percayalah kita pasti bisa
Walaupun lagunya sangat singkat dan simpel, menurutku lagu ini sudah bisa menggambarkan betapa mereka menikmati belajar tanpa paksaan apapun. Belajar dengan senang, gembira, nyaman. Menurutku, itulah kunci untuk menuntut ilmu yang benar.
"Eh Nur tiati jangan nyeburrrrr"
Pada jam makan siang, aku dan Anja diajak berkeliling Desa Pesawahan dengan Siswati dan Nur. Kami turun ke Telaga Kumpe dan ingin mendayung perahu untuk mengelilingi telaga diatas air. Pasti akan terasa sangat menyenangkan mendayung perahu di tengah telaga, sambil berbincang-bincang.
Nur, sebagai 'guide' kami, mencoba untuk masuk ke perahu terlebih dahulu. Namun karena ia ragu-ragu, satu kaki yang sudah masuk ke perahu bergeser karena perahunya lari, menjauh dari kaki satunya. Alhasil, Nur hampir jatuh dengan gaya split. Untungnya Anja dengan cepat lari dan membantu Nur yang sudah sekarat ahahahahha.
Aku yang sedang panik di pinggir telaga, langsung jongkok dan tertawa. Maaf aku tidak bisa menahan rasa untuk tertawa. Sis yang berada di sampingku juga sudah tertawa terbahak-bahak. Sementara Anja dan Nur sudah lemas sambil menyelonjorkan kakinya di rumput. Benar-benar kejadian itu adalah kejadian yang sangat lucu.
Wihh ayam!
Sepulang sekolah, betapa senangnya hatiku dan Anja ketika melihat ada ayam berbumbu kuning yang masih didalam panci. Kami hanya berharap ayam tersebut memang dimasak untuk kami makan, bukan dimasak sebagai makanan sebuah acara. Sudah lama sekali sejak saat terakhir kami makan daging. Makanya sore itu, semangat kami untuk makan, tak perlu ditanya.
Ketika ibu menjelaskan bahwa ayam itu memang untuk konsumsi orang rumah, kami dengan kilat mengambil piring serta nasi, dan langsung menciduk ayam yang sedang berendam di kuah kuning tersebut. Untuk menambahkan kelezatan makan siang -sore- kami itu, ibu juga menyediakan daun pepaya yang dimasak dengan leuncak.
Jujur, aku bingung bagaimana cara menjelaskan betapa nikmat makan siang kami hari itu. Diet langsung terlupakan, dan centong terus-menerus menyiduk nasi ke piringku. Tak perlu menggunakan ayamnya, kuahnya saja sduah sangat lezat. Rasanya gurih dan ada sedikit manis diujung lidah.
Karena kami sangat penasaran dengan bumbunya, Anja memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu yang sudah menumpung piring-piring bekas makan. Ternyata hidangan lezat ini bernama Ayam Kunir, yang berarti ayam bumbu kunyit. Lalu ibu menyebutkan beberapa nama rempah yang sedikit asing untukku, makanya aku tidak ingat hehe.
Kalau daun pepaya, memang selalu ibu masak dengan leuncak supaya rasa pahitnya tidak terlalu berasa. Aku yang biasanya tidak suka daun pepaya, kali ini menambah beberapa kali. Rasa pahitnya benar-benar sedikit dan hanya terasa di akhir kunyahan. Tapi itu ternyata yang membuat daun pepaya ini lezat dan unik.
Hidangan ayam ini memang selalu ibu masak setiap akhir minggu. Karena Elisa, sang adik sangat menyukai daging, jadi ibu sempatkan untuk memasaknya walaupun hanya seminggu sekali. Untung aku menginap di rumah Nur pada saat yang tepat. Kalau tidak, mungkin aku akan melewatkan hidangan lezat milik ibu.
EH JAM 10?!
Suara qasidahan dari mushola sebelah rumah Nur membuatku terbangun dari mimpi indahku. Dengan refleks, aku menyalakan senter jam dan melihat angka 10.45 pada jam tanganku. Awalnya aku bingung. Aku melihat keluar jendela untuk memastikan apakah benar sudah jam 10 pagi? Bukannya tenang, aku malah tambah panik dan bingung ketika melihat langit yang masih hitam diluar.
"Kok bisa gelap sih? Kan ini udah jam 10" tanyaku kepada diri sendiri yang sedang tidak tenang. Aku kembali memeriksa jam tangan milikku. Aku kira aku salah mengesetnya sehingga muncul angka 10.45. Namun tidak kok, jamku berada di settingan yang benar.
Aku menggoyangkan badan Anja dengan sedikit kencang, karena ingin menginforkmasikan bahwa sudah jam 10, dan kami telat bangun. Setelah mendengar suara teriakan bisik-bisikku yang kulontarkan dekat telinganya, Anja akhirnya terbangun. Raut wajahnya yang mencekam, sedikit membuatku terkejut.
Tanpa menunggu lama, aku segera memberitahu tujuanku membangunkannya. Namun ia tidak terlihat panik, melainkan terlihat jengkel. "Ssst, denger diluar masih sepi banget. Trus liat luar, gelap banget. Coba liat jam lu" katanya dengan suara sedikit terganggu. Aku memberikan tangan kiriku padanya, dan menyalakan senter.
"RATRI INI JAM 10 MALAM" triaknya dalam bisikan. Aku yang daritadi kebingungan, langsung merasa sangat konyol. Mengapa aku tidak kepikiran bahwa ini sebenarnya jam 10 malam bukan siang hahahahah. Anja langsung kembali mengubur dirinya di dalam sleeping bag, dan membalikkan badannya dariku. Sepertinya ia jengkel.
Uwah manis!
Pagi itu, ibu menawarkan kami untuk melihat proses pembuatan gula jawa. Di dekat rumahnya, sudah ada 2 rumah yang membuat gula jawa. Menurutku ini kesempatan yang sangat menarik, karena kami bisa melihat sendiri proses pembuatan gula di desa ini.
Tanpa basa basi, aku dan Anja langsung mengambil kamera, dan bergegas keluar. Wah ternyata diluar sedang ada tukang sayur. Unik deh cara tukang sayur ini berjualan. Jadi ia berkeliling desa menggunakan motor. Dia akan berhenti di tempat yang biasa digunakan ibu-ibu untuk berkumpul dan mengobrol di pagi hari. Lalu ia akan menurunkan jualannya ke lantai rumah, dan membiarkan ibu-ibu memilik sayuran atau bahan masakan lainnya. Setelah semua selesai, para pembeli juga sudah membayar, ibu tukang sayur akan merapihkan dan mengembalikan jualannya ke motor. Karena biasanya dirumah, tukang sayur hanya berkeliling begitu saja, jadi menurutku cara berjualan disini cukup unik.
Setelah berurusan dengan tukang sayur dan jajanan-jajanan menarik, kami langsung ke rumah Ibu Keri. Ia sudah lama menjadi produsen gula jawa yang sering ia jual di pasar-pasar besar yang terletak di Purwokerto. Hal pertama yang ku sadari adalah harum manis menyengat dari air bunga kelapa yang sedang direbus hingga menjadi karamel.
Setiap pagi, suami dari Ibu Keri ini selalu memanjat pohon kelapa untuk menyadap air dari bunga kelapa menggunakan pongkor (semacam bambu yang digunakan sebagai gelas). Kalau sudah siang, ia akan kembali memanjat pohon untuk mengambil pongkor yang sekarang sudah berisi air bunga kelapa, dan membawanya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, air tersebut akan direbus dan diaduk sampai berwarna coklat tua dan memiliki tekstur yang kental. Biasanya proses memasak gula ini bisa mencapai 5 jam. Dan uniknya, Ibu Keri masih menggunakan tungku untuk memasak gula.
keterangan foto: pongkor
Waktu itu kami datang di saat yang tepat. Ibu Keri sedang mengaduk gula yang berwarna coklat dan kental diwajan. Ia menggunakan alat yang bentuknya serupa dengan dayungan untuk mengaduk cairan kental tersebut. Ia kemudian memberikan kami ujung dayungannya yang penuh dengan gula kental, dan menyuruh kami untuk mengambil sedikit.
"a ah panas" kataku sambil memindahkan gula kental itu dari tangan kananku ke tangan kiriku. Sementara Anja dengan santainya, langsung melahap gula itu. Ia memperlihatkan wajah terkejut sambil mengemut gula yang ada di dalam mulutnya, dan memberikanku dua jempol. Melihat ekspresinya, aku buru-buru memasukkan gula itu ke dalam mulut, sambil mengemut jempolku yang lengket.
Sesaat ketika aku memasukkan gula tersebut, yang kurasakan hanyalah manis yang sangat kental. Ada juga rasa gurih untuk melengkapi kelezatan yang sedang berkobar-kobar di lidahku. Tanpa sadar, ternyata aku sedang merem-melek sambil ngemut gulanya Bu Keri, dan membuatnya terkekeh sedikit. Aku meletakkan kameraku, hanya untuk memberikannya dua jempol tanganku.
Kemudian gula yang tadi masih di panci, ia masukkan ke dalam cetakan-cetakan gula dari bambu, dan menyuruh kami menunggu. Katanya, sebelum benar-benar kering dan mengeras, gula ini akan dengan cepat meleleh dan membuat benda apapun menjadi lengket. Jadi kami harus menunggu sekitar 3-4 jam supaya gulanya benar-benar sudah mengeras.
Sementara kami menunggu, kami berbincang sedikit dengan Ibu Keri tentang program kami dan juga menggali kisah Ibu Keri. Ia memang dari lahir di desa ini, besar dan tua juga di desa ini. Ia memiliki beberapa anak yang sekarang sudah merantau jauh di Jakarta untuk menggapai cita-citanya. Sekarang ia hanya tinggal bersama suaminya, dan memproduksi gula jawa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sebelum kami pulang, Ibu Keri menyuruh kami untuk kembali mengikutinya ke dapur. Dengan cekatan, Ia mengeluarkan dua gula jawa dari cetakan, kemudian memberikannya kepada aku dan Anja. Katany untuk mama hehe. Wah pasti mama seneng banget nih dapet gula jawa enak.
Alev minggat
Sore harinya, kami memutuskan untuk mengunjungi rumah teman-teman yang tinggalnya tidak begitu jauh dari rumahnya Nur. Sekalian mau mengeksplor desa juga. Awalnya kami ke rumah Tia yang bersebrangan dengan rumah Bagas. Kami bertemu dengan Kaysan juga yang sedang menginap di rumah Bagas waktu itu.
Kami bertemu dengan adiknya Bagas yang sangat menggemaskan. Kami juga diperlihatkan beberapa foto-foto lucu yang diambil ketika Kaysan, Bagas, Alev, dan Heri, kemarin saat bermain ke Bukit Gondang. Namun kami tidak singgah begitu lama dirumah Bagas, sebab masih banyak rumah yang ingin kami kunjungi. Kaysan dan Bagas malah ikut dengan kami, jadi seru, ramai!
Rumah Lia menjadi destinasi berikutnya. Kami berjalan mengikuti Nur, Anja, dan Tia yang sudah ada di depan. Aku, Bagas, serta Kaysan hanya bercanda gurau di belakang barisan. Bagas ini anak yang sangat lucu, Ia bisa membuat hal apapun menjadi bahan tertawaan. Aku jadi merasa sangat nyaman bermain dengannya.
Setelah perjalanan menurun yang cukup jauh, kami akhirnya sampai di rumah Lia. Kami disambut hangat oleh sang ibu dan Alfa adiknya. Sore itu, kami disuguh dengan buah pepaya yang segar. Rasanya nikmat sekali menyantap pepaya di hawa panas seperti ini. Sayangnya hari itu, kami masih sedikit canggung dengan Lia dan orangtuanya, jadi tak lama setelah kami menghabiskan pepaya, kami langsung pamit. Inimah namanya numpang makan atuh yak, tapi gapapalah enak heheh.
Akhirnya setelah berpamitan, kami langsung bergegas menuju rumah Heri. Singkat cerita, waktu itu ketika Alev kebagian menginap di rumah Heri, rasa rindunya kepada rumah serta keluarganya sedang berkobar-kobar. Sepertinya ia butuh teman dari oase juga untuk mengerti keadaannya. Sehingga membuatnya seolah-olah tidak betah di rumah Heri. Sayangnya, Alev memutuskan untuk pergi dari rumah Heri dan menginap di rumah Bagas, tanpa izin kepada ibu terlebih dahulu.
Semenjak saat itu, nama 'Alev dari Jakarta' menjadi terkenal di kalangan ibu-ibu orangtua anak pakis. Namun, rumor yang tersebar sedikit beda dengan kenyataanya. Banyak yang mengira Alev takut kepada neneknya Heri, jadi ia memutuskan untuk minggat. Namun kan sebenarnya alasan ia pergi bukanlah karena neneknya Heri.
Jadi ketika kami sampai di rumah Heri, topik pertama yang kami obroli dengan ibunya Heri, adalah tentang kisah minggatnya Alevko dari rumah Heri ahahahah. Kasihan ibunya Heri, ia merasa sangat bersalah kepada Alev, ia sampai saat itu masih mengira bahwa neneknya Heri yang menjadi alasan mengapa Alev pergi. Ia juga meminta kami membujuk Alev datang lagi ke rumah, untuk berpamitan terlebih dahulu.
Disana, saat ibunya Heri bercerita, aku merasa sangat tidak enak kepada ibu. Karena bagaimanapun, aku merasa bahwa Alev juga tanggung jawab kami bersama. Akhirnya disana, hawanya terasa seperti sedang lebaran. Yang ada hanya ibu meminta maaf, dan kami yang juga selalu melontarkan kata-kata maaf. Tapi kejadian ini akan terus menjadi kenangan lucu sih. Terima kasih lev!
Di pagi hari sebelum matahari sempat memperlihatkan dirinya, terlihatlah dua remaja yang sedang tidur berdempat-dempetan di sebuah kamar kecil yang setengah luasnya sudah dipenuhi oleh lemari pakaian, dan diatas kasur yang tidak datar. Remaja yang satu menggunakan sleepingbag-nya dengan nyaman, sementara yang satu lagi hanya berbalut jaket gunung dan memakai kaos kaki untuk melindungi jempolnya yang menggigil.
Dan pada jam 04.00 pagi, remaja yang menggunakan jaket gunung itu terbangun. Ya, remaja itu adalah aku. Kesalahan pertamaku selama ekspedisi ini adalah, membawa sleeping bag yang besarnya bisa memenuhi satu tas. Jadi aku tidak bisa membawa sleeping bag ke rumahnya Nur, karena aku hanya membawa satu tas berukuran nanggung.
Tetapi aku berterima kasih kepada jaketku -dan kaos kakiku- karena tanpa mereka, aku tidak akan merasakan kedinginan dan terbangun tepat waktu. Oh dan aku juga ingin menyampaikan terima kasih kepada adzan subuh yang berkumandang dari mushola sebelah rumah, yang membuatku kaget dan sempat tidak menyadari keberadaanku saat itu.
Tanpa menunggu lama setelah aku benar-benar terbangun, aku mecoba untuk membangunkan Anja yang masih tertidur pulas didalam sleeping bagnya. Entah mengapa pagi itu ia sangat sulit dibangunkan, sepertinya sedang mimpi indah. Sementara itu ketika Anja sudah bangun, dia langsung lompat dari sleepingbag, dan meninggalkanku sambil keluar kamar sendiri. Jujur, aku sangat bingung dengannya. Tak ada bicara apapun, dia langusng buru-buru keluar.
Suara beradunya sutil dan wajan memenuhi rumah Nur pagi itu. Ternyata ibu sudah bangun, dan Nur juga sudah duduk di kursi kecil dekat tungku yang sedang memasak sesuatu. Ternyata tugas Nur setiap pagi itu adalah memastikan bahwa api di tungku itu selalu stabil dan besar. "enak ya Nur kalo di dekat tungku, hangat" kataku sambil berjongkok disebelahnya.
Selama kami jongkok di dekat tungku, ibu menjelaskan mengapa kalau di desa ini semua masih punya tungku di dapur, walaupun sudah punya kompor gas. Ternyata tungku ini digunakan hanya untuk memasak air. Karena air yang biasa dimasak itu jumlahnya banyak, cukup boros kalau memasaknya menggunakan kompor gas. Jadi kompor gas ini hanya digunakan untuk memasak makanan-makanan.
Men, capek men
Memang semua orang di desa itu sepertinya memulai hari sangat pagi ya. Jam 04.00, Nur bangun dan membantu ibunya memasak, lalu jam 05.00 adalah jam untuk mandi dan bersiap-siap sekolah, Jam 06.00, Nur sudah mengantar Elisa, sang adik untuk ke sekolah. Karena kami semua sudah siap berangkat dari jam 06.00, seselesainya Nur mengantar adiknya, kami langsung pergi sekolah.
Namun sebelum berangkat, biyungnya (nenek) Nur mengundang kami untuk mampir sebentar kerumahnya. Aku pikir kami sudah mau terlambat, tapi kata Nur sebaiknya kami mampir dulu. Akhirnya kami jalan ke rumah paling ujung dari gang rumahnya Nur. Wah dekat sekali ternyata rumahnya biyung. Dan rumah biyung ini adalah sebuah warung, jadi selalu saja banyak ibu-ibu yang kerumahnya biyung kalau pagi.
Disana kami disuguh oleh mie goreng yang biyung buat ketika kami disana. Aku baru menyadari kalau orang-orang yang tinggal di daerah ini selalu menyuguh tamunya dengan makanan. Makanan berat ataupun snek pasti disajikan untuk tamu. Huhu, bagaimana mau kurus kalau begini caranya?
Akhirnya setelah makan dirumah biyung, kami beranjak dan berangkat sekolah. Masih ingat kan betapa curamnya turunan yang kuceritakan kemarin? Aku mengira (dan berharap) kami akan lewat jalanan lain. Namun aku salah, kami harus lewat tanjakan yang curam itu untuk menuju ke sekolah! Untung aku tidak membawa begitu banyak barang, jadi aku masih bisa selamat dari tanjakan maut itu.
Sebenarnya jarak dari rumah Nur sampai sekolah sama sekali tidak jauh. Hanya saja medan yang sangat menanjak itu membuat kami lelah. Nur terlihat sangat santai saat kami berjalan di tanjakan maut itu. Sementara aku dan Anja sudah berkeringat dan ngos-ngosan hahhah, memang anak jarang olahraga ya begini deh hasilnya.
Tak lama setelah kami melewati medan yang berbahaya (lebay) tersebut, kami akhirnya sampai di pertigaan jalan besar. Dari sana, kami melanjutkan perjalanan dengan menerobos hutan. Karena kami sudah merasakan tanjakan maut tadi, perjalanan melalui hutan ini sudah tidak ada apa-apanya lagi. Aku hanya khawatir jika hujan, jalanan ini pasti sangat licin. Yah semoga saja kami tidak pernah hujan-hujanan saat berangkat atau pulang sekolah.
Waduh kok bubrah?
Hari itu, Kang Is sudah tidak ada di kantor. Seperti kataku kemarin, Kang Is dan Juni sedang mengikuti acara pengamatan burung di Solo. Jadi ketika aku, Anja, dan Nur sampai di sekolah pada pukul 07.45, sekolah masih sangat sepi. Sebenarnya aku tidak tahu apakah ini karena Kang Is tidak ada di sekolah, atau memang banyak yang telat karena apapun yang terjadi di rumah mereka masing-masing.
Jam sudah menunjukkan pukul 08.15, namun ternyata tidak banyak yang hadir. Ya sudah kalau begitu, hari ini kami ngobrol-ngobrol saja di kelas. Kami banyak membicarakan tentang hobi kami lalu kebiasaan kami di rumah masing-masing. Memang pada saat hari kedua, kami telah membicarakan hal-hal ini, namun kemarin kami hanya mengobrol di satu kelompok. Nah kali ini aku mau tau tentang hobi-hobi dan cerita-cerita dari teman yang diluar kelompokku.
Pekerjaan orangtua mereka kebanyakan adalah petani atau kuli bangunan. Biasanya yang bekerja sebagai kuli bangunan adalah sang ayah. Jadi banyak dari mereka yang ayahnya sedang diluar kota, bekerja sebagai kuli bangunan. Sementara itu ibu dari teman-temanku banyak yang menjadi ibu rumah tangga, dan sering mengarit untuk makan kambing peliharaan mereka.
Mengetahui cerita-cerita mereka yang menarik ini, membuatku ingin tahu lebih banyak. Sayangnya mereka masih suka malu-malu untuk bercerita banyak. Jadi aku harus selalu menggali mereka dengan pertanyaan-pertanyaanku. Namun aku kadang sungkan, sepertinya aku mengganggu mereka dengan pertanyaan-pertanyaanku, jadi aku hentikan dulu 'sesi wawancaranya' hari itu.
Saat teman-teman perempuan mengobrol denganku dan Anja, para lelaki dengan heboh dan serunya bermain tennis meja. Wah mereka terlihat sangat serius, bahkan mereka menggunakan skor saat bermain. Sudah seperti pertandingan saja. Mereka juga cukup menghibur, dengan meminta tolong untuk mengambilkan bola mereka yang menggelinding ke kolong kursi yang kami duduki.
Nah itu kunci C, bukan G
Hari sudah mulai siang dan teman-teman semua menolak untuk belajar. Aku merasa tidak berguna. Mau memaksa mereka untuk belajar, juga sungkan. Yasudah aku memutuskan untuk bermain gitar milik sekolah, dan mencoba menggarap lagu baru. Tak lama setelah gejrenganku mulai kencang, Tia menghampiriku dengan pelan.
"Bisa main gitar, mbak?" tanyanya dengan raut wajah yang malu. Aku berhenti menggejreng gitarnya, dan tanpa menjawab pertanyaan apapun, aku suruh dia untuk duduk di sebelahku. "Mau coba belajar?" tanyaku yang langsung dijawab "Ora teyeng mbak lah" (gak bisa lah mbak) olehnya. Aku tahu walaupun dia menjawab seperti itu, dia sebenarnya mau mencoba.
Aku pelan-pelan meletakkan gitar diatas pangkuannya, membetulkan postur, dan memindahkan tangannya ke atas gitar yang sekarang sudah ada di atas pangkuan Tia. Wajahnya amat riang, seperti sudah tidak sabar memetik senar gitar ini. Aku mulai mengajarkannya cara memetik dan menggenjreng gitar dengan benar. Posisi tangan yang benar juga aku tegaskan padanya.
Namun Tia terlihat mulai bosan karena yang ia pelajari hanyalah penempatan tangan dan cara memetik senar gitar. Sepertinya ia mau langsung mengetahui kunci-kunci yang bisa ia pakai untuk menyanyikan lagu. Oh ya, Tia ini memiliki hobi bernyanyi, jadi ia sangat tertarik kepada alat musik juga, sayangnya ia tidak bisa memainkan alat musik apapun.
Akhirnya aku mulai memberitahu kunci-kunci dasar yang ada pada gitar. Asumsiku ternyata benar, sesaat ketika aku mulai menunjukkan kunci-kunci dasar, wajahnya kembali berseri-seri. Dia langsung mencoba memainkan kunci C. Lama-kelamaan, kunci yang ia mainkan sudah mulai enak didengar. Lalu aku tunjukkan kunci G, dan begitu juga yang terjadi. Ia terus-menerus menggenjreng kunci G. Walaupun sudah enak didengar, tetap saja kadang bosan harus mendengar orang memainkan satu kunci terus hahah.
Karena sangat bangga terhadap dirinya, Ia mulai menunjukkan skill yang baru saja ia pelajari pada teman-temannya. Namun sayang ia terbalik menyebut kunci G dan C. Yah, tidak apa-apa lah namanya juga baru belajar kan?
Pulang
Hari sudah semakin siang, dan sampai pada saat pulang sekolah. Kalau dulu saat aku masih sekolah, aku pasti selalu minta mama atau papa untuk menjemput sedikit telat karena mau main di sekolah. Tapi berbeda dengan anak-anak pakis, setelah diberitahu sudah waktunya pulang, mereka langsung bergegas merapihkan tas dan berjalan pulang.
Di perjalanan menuju rumah, kami berbincang-bincang tentang drama yang terjadi tadi di gubuk literasi. Ya biasa, drama soal cinta hahah.Tapi aku berterima kasih kepada drama ini, karena tanpanya mungkin aku masih kurang akrab dengan Tia dan Nur. Ternyata kadang gosip itu punya dampah positif.
Setelah kami berpisan dengan Tia yang rumahnya sedikit lebih dekat dari sekolah, kami melanjutkan pembicaraan tadi sambil berjalan. Lama-kelamaan topik pembicaraan kami sudah mulai habis, namun perjalanan masih sedikit panjang. Nur mulai berjalan didepan kami. Ia berbadan kurus dan jangkung, kulitnya coklat, dan pipinya terkadang merak karena terlalu sering berada di bawah matahari. Setelah kuamati, Nur ini adalah seseorang yang pemalu (walaupun tidak ketika bersama temannya), ia juga merupakan anak yang memiliki pemikiran yang sedikit berbeda dengan teman-temannya, dan menurutku itu adalah hal yang unik dan menarik. Ia memiliki hobi menulis dan mengarang cerita, tak perlu kujelaskan betapa indahnya tulisan-tulisan hasil karyanya.
Sesampainya kami dirumah, ibu langsung menggiring kami ke dapur untuk makan siang. Padahal tadi siang saat istirahat, aku dan Anja sudah diundar ke rumah David untuk makan siang bersama. Seperti yang semua sudah tahu, kami tidak mampu menolak ajakan ibu, apalagi ibu sudah repot-repot masak untuk kami. Jadi aku dan Anja langsung mengambil piring dan mulai menyendok nasi dari rice-cooker.
Siang itu, ibu memasak pecel dengan aneka sayur-sayuran rebus, oh ya dan jangan lupa mendoan. Di setiap hidangan apapun, pasti tempe atau tahu mendoan selalu tersedia. Walaupun semuanya sama-sama tempa dan tahu yang ditepungi, terkadang rasanya berbeda. Ada yang hambar, ada yang asin, ada juga yang pedas karena ada potongan cabai di adonan tepungnya.
Ibu membuka pembicaraan ditengah santapan kami. Aku yang tadinya sedang megamati aquarium yang berisi ikan milik adiknya Nur, langsung menoleh ke ibu yang sedang berbicara. Katanya, di dekat sini ada tempat wisata yang sering orang luar desa kunjungi. Namanya Tempat Wisata Bukit Gondang. "Disana ada ikan besar gitu, bisa juga naik ke bukitnya, ngeliat kampung-kampung disini" tambah ibu, sementara kami masih mengunyah sambil mendengarkan. Terdengar menarik sih, jadi ibu menyarankan untuk cepat-cepat bersiap dan diingatkan supaya tidak lupa membawa camera.
Ayo Elisa semangat!!
Sore itu kami berjalan ditemani dengan terik matahari dan juga udara sejuk Desa Karanggondang. Jarak dari rumah Nur ke tujuan kami tidak begitu jauh. Bahkan bisa dibilang dekat. Nur mengajak 2 temannya untuk ikut, dan menikmati sore diatas bukit. Alhasil, terkumpul 7 orang yang berjalan ke Bukit Gondang. Ada ibu, Nur, aku, Anja, Elisa, dan kedua temannya Nur yang tidak begitu banyak ngobrol denganku.
Sesampainya di lokasi, kami langsung menuju ke kolam ikan Arapaima Gigas yang terletak disebelah kolam renang. Tak terbayangkan olehku untuk berenang di udara yang selalu sejuk ini. Namun ketika kami tiba, ada beberapa anak yang masih menggunakan celana merah khas SD, yang sedang bermain air di dalam kolam renang.
Jujur, keadaan kolam Arapaima saat itu sangat menyedihkan. Air yang digunakan sangatlah kotor dan keruh. Jadi, kalau dilihat dari atas, ikannya hanya terlihat samar-samar. Lalu taman yang ada disekeliling kami sedikit kurang perawatan. Mungkin juga karena sedang musim kemarau, jadi banyak bungs yang godong dan coklat.
Kami tidak begitu tertarik dengan tempat-tempat yang disediakan di bawah, jadi kami memutuskan untuk memanjat 337 anak tangga dan menikmati keindahan Desa Karanggondang dari atas. Awalnya aku sempat khawatir karena takut tidak kuat menaiki tangga yang banyak ini. Aku juga mengkhawatirkan Elisa dan ibu.
Satu per-satu anak tangga yang kami pijak, membuat kami merasa langsung lebih tinggi. Bahkan di tengah perjalanan, aku sudah kagum dengan indahnya pemandangan yang kulihat. Ketika sedang berkagum-kagum ria, terdengar ada suara rengekan anak kecil yang sumbernya tak jauh dari tempat aku berdiri. Ternyata itu Elisa yang sedang mengeluh karena lelah. Bujukan-bujukan untuk berputar balik selalu ia tolak, namun semakin lama ia berjalan, semakin banyak keluhan yang ia keluarkan.
Karena kami sudah tidak punya cara untuk membujuknya, kami harus cari cara lain untuk membuat Elisa bisa meneruskan perjalanan. Dari atas, kami berteriak el-yel spontan untuk menyemangati Elisa. Walaupun ia tidak bertambah cepat, paling tidak ia tersenyum sambil kelelahan hahah.
Tarik nafas, buang nafas
"Satu lagiii, yak sampaiii!" sorakku dengan gembira ketika selesai mengangkat kakiku dari anak tangga terakhir. Ternyata tempat kami saat itu benar-benar tinggi! Kami bisa melihat seluruh desa dengan jelas. Kota Purwokerto juga terpampang dengan indah.
Disana sudah disediakan beberapa spot untuk foto. Hehe tapi buatku, spot-spot itu terlalu mainstream dan yah bukan styleku lah.. Jadi selama disana, aku menghabiskan waktu dengan mengambil beberapa foto bukit-bukit yang sejajar dengan kami, dan juga mengambil beberapa foto yang dimodeli oleh Anja.
Sore itu benar-benar waktu yang membuat otak serta hatiku seperti di restart. Semua terasa lebih segar dan baru. Dibantu dengan angin yang berhembus dengan santun kearahku, dan juga dengan cahaya mentari yang mulai pamit, aku akhirnya bisa menikmati perjalananku ini. Kelak cerita-cerita tentang pengalamanku disini akan kusampaikan ke anak dan cucuku nanti. Terima kasih ibu, telah mengusulkan kami untuk berkeunjung ke Bukit Pasir Angin yang terletak di area wisata Bukit Gondang.
Udah mulai terbiasa
Pagi dari hari kedua aku menginap di rumah Nur, aku merasa sangat fresh walaupun kedinginan. Mungkin berkat tidur nyenyak semalam karena kelelahan memanjat bukit. Hal pertama yang kulihat ketika aku keluar kamar, adalah ibu yang sedang merebus air untuk kami mandi. Huhu, ibu baik banget.
Karena pagi itu kami bangun sedikit telat, aku langsung bergegas mandi dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Sementara aku dan Anja menyiapkan tas kami masing-masing, Nur berangkat mengantar Elisa dengan motor, dan ibu berangkat ngarit. Sertiap pagi, memang jadwalnya ibu mengarit di hutan supaya bisa memberi makan kambing peliharaan.
Oh ya omong-omong peliharaan, Elisa ini memiliki binatang peliharaan yang jumlahnya sangat banyak dan beragam spesies hewan. Ia memiliki puluhan belalang yang dikurung di baskom dan toples. Ia juga memiliki kurang lebih 8 ekor ikan yang dipelihara didalam aquarium. Ayam juga menjadi binatang peliharaannya, sang ibu tidak tega untuk menyembelih ayamnya karena Elisa sangat menyayangi ayam tersebut. Kura-kura sawah juga ia pelihara, namun entah mengapa tempurung kura-kura ini ditumbuhi jamur, dan selalu bisa menghibur kami karena bentuknya.
Setelah Elisa diantar, dan Nur kembali ke rumah, kami langsung berangkat menuju sekolah. Tak tahu mengapa, hari ini kami melewati tanjakan maut itu dengan sangat mudah. Mungkin efek menaiki 337 anak tangga kemarin ya? Dan akhirnya setelah 15 menit perjalanan, kami sampai sekolah
Gimana Menurut Kalian?
"Udah jam delapan, yuk kita mulai?" seru Anja pada kelompok kami yang sedang ngobrol-ngobrol. Suara Anja itu ternyata sampai ke telinga semua orang, jadi kami semua langsung beranjak dan memulai kegiatan. Karena di kelas, suasananya sangat bising, aku memutuskan untuk mengajak kelompokku dan Anja belajar di Gubuk Literasi. Supaya bisa belajar dengan tenang dan segar.
Jadwal pelajaran hari itu salah satunya adalah kesenian. Dan setelah kuintip LKS milik mereka, ternyata pelajarannya sangat membosankan. Jadi aku mengusulkan untuk membuat lagu. Untungnya disambut dengan cukup meriah oleh teman-teman.
Di setiap kalimat yang kulontarkan, aku selalu bertanya pendapat mereka. Sayangnya mereka hanya mengangguk-angguk saja untuk jawaban dari pertanyaan apapun. Akhirnya aku minta mereka yang menulis. Dan ternyata hasil dari kolaborasi teman-teman ini sangat mengejutkan.
Kami membuat lagu tentang sekolah Pakis, yang cara pendidikannya berbeda dengan sekolah-sekolah lain. Memiliki ruang yang luas dan bebas untuk belajar, tidak harus dikelas atau di aula, mereka dapat belajar di alam. Sepertinya hal itu adalah hal-hal yang paling berkesan bagi mereka yang bersekolah di Pakis. Beginilah lagunya:
Verse:
Memberi ilmu, pada temanku
Bercanda riang, tawa bahagia
Belajar bebas, di alam luas
Ruangku besar, tak terbatas
Bridge:
Kita selalu bahagia
Belajar bersama
Reff:
Karena ilmu dimana saja
Bisa kucari dan kubagi
Masa depanku semakin dekat
Percayalah kita pasti bisa
Walaupun lagunya sangat singkat dan simpel, menurutku lagu ini sudah bisa menggambarkan betapa mereka menikmati belajar tanpa paksaan apapun. Belajar dengan senang, gembira, nyaman. Menurutku, itulah kunci untuk menuntut ilmu yang benar.
"Eh Nur tiati jangan nyeburrrrr"
Pada jam makan siang, aku dan Anja diajak berkeliling Desa Pesawahan dengan Siswati dan Nur. Kami turun ke Telaga Kumpe dan ingin mendayung perahu untuk mengelilingi telaga diatas air. Pasti akan terasa sangat menyenangkan mendayung perahu di tengah telaga, sambil berbincang-bincang.
Nur, sebagai 'guide' kami, mencoba untuk masuk ke perahu terlebih dahulu. Namun karena ia ragu-ragu, satu kaki yang sudah masuk ke perahu bergeser karena perahunya lari, menjauh dari kaki satunya. Alhasil, Nur hampir jatuh dengan gaya split. Untungnya Anja dengan cepat lari dan membantu Nur yang sudah sekarat ahahahahha.
Aku yang sedang panik di pinggir telaga, langsung jongkok dan tertawa. Maaf aku tidak bisa menahan rasa untuk tertawa. Sis yang berada di sampingku juga sudah tertawa terbahak-bahak. Sementara Anja dan Nur sudah lemas sambil menyelonjorkan kakinya di rumput. Benar-benar kejadian itu adalah kejadian yang sangat lucu.
Wihh ayam!
Sepulang sekolah, betapa senangnya hatiku dan Anja ketika melihat ada ayam berbumbu kuning yang masih didalam panci. Kami hanya berharap ayam tersebut memang dimasak untuk kami makan, bukan dimasak sebagai makanan sebuah acara. Sudah lama sekali sejak saat terakhir kami makan daging. Makanya sore itu, semangat kami untuk makan, tak perlu ditanya.
Ketika ibu menjelaskan bahwa ayam itu memang untuk konsumsi orang rumah, kami dengan kilat mengambil piring serta nasi, dan langsung menciduk ayam yang sedang berendam di kuah kuning tersebut. Untuk menambahkan kelezatan makan siang -sore- kami itu, ibu juga menyediakan daun pepaya yang dimasak dengan leuncak.
Jujur, aku bingung bagaimana cara menjelaskan betapa nikmat makan siang kami hari itu. Diet langsung terlupakan, dan centong terus-menerus menyiduk nasi ke piringku. Tak perlu menggunakan ayamnya, kuahnya saja sduah sangat lezat. Rasanya gurih dan ada sedikit manis diujung lidah.
Karena kami sangat penasaran dengan bumbunya, Anja memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu yang sudah menumpung piring-piring bekas makan. Ternyata hidangan lezat ini bernama Ayam Kunir, yang berarti ayam bumbu kunyit. Lalu ibu menyebutkan beberapa nama rempah yang sedikit asing untukku, makanya aku tidak ingat hehe.
Kalau daun pepaya, memang selalu ibu masak dengan leuncak supaya rasa pahitnya tidak terlalu berasa. Aku yang biasanya tidak suka daun pepaya, kali ini menambah beberapa kali. Rasa pahitnya benar-benar sedikit dan hanya terasa di akhir kunyahan. Tapi itu ternyata yang membuat daun pepaya ini lezat dan unik.
Hidangan ayam ini memang selalu ibu masak setiap akhir minggu. Karena Elisa, sang adik sangat menyukai daging, jadi ibu sempatkan untuk memasaknya walaupun hanya seminggu sekali. Untung aku menginap di rumah Nur pada saat yang tepat. Kalau tidak, mungkin aku akan melewatkan hidangan lezat milik ibu.
EH JAM 10?!
Suara qasidahan dari mushola sebelah rumah Nur membuatku terbangun dari mimpi indahku. Dengan refleks, aku menyalakan senter jam dan melihat angka 10.45 pada jam tanganku. Awalnya aku bingung. Aku melihat keluar jendela untuk memastikan apakah benar sudah jam 10 pagi? Bukannya tenang, aku malah tambah panik dan bingung ketika melihat langit yang masih hitam diluar.
"Kok bisa gelap sih? Kan ini udah jam 10" tanyaku kepada diri sendiri yang sedang tidak tenang. Aku kembali memeriksa jam tangan milikku. Aku kira aku salah mengesetnya sehingga muncul angka 10.45. Namun tidak kok, jamku berada di settingan yang benar.
Aku menggoyangkan badan Anja dengan sedikit kencang, karena ingin menginforkmasikan bahwa sudah jam 10, dan kami telat bangun. Setelah mendengar suara teriakan bisik-bisikku yang kulontarkan dekat telinganya, Anja akhirnya terbangun. Raut wajahnya yang mencekam, sedikit membuatku terkejut.
Tanpa menunggu lama, aku segera memberitahu tujuanku membangunkannya. Namun ia tidak terlihat panik, melainkan terlihat jengkel. "Ssst, denger diluar masih sepi banget. Trus liat luar, gelap banget. Coba liat jam lu" katanya dengan suara sedikit terganggu. Aku memberikan tangan kiriku padanya, dan menyalakan senter.
"RATRI INI JAM 10 MALAM" triaknya dalam bisikan. Aku yang daritadi kebingungan, langsung merasa sangat konyol. Mengapa aku tidak kepikiran bahwa ini sebenarnya jam 10 malam bukan siang hahahahah. Anja langsung kembali mengubur dirinya di dalam sleeping bag, dan membalikkan badannya dariku. Sepertinya ia jengkel.
Uwah manis!
Pagi itu, ibu menawarkan kami untuk melihat proses pembuatan gula jawa. Di dekat rumahnya, sudah ada 2 rumah yang membuat gula jawa. Menurutku ini kesempatan yang sangat menarik, karena kami bisa melihat sendiri proses pembuatan gula di desa ini.
Tanpa basa basi, aku dan Anja langsung mengambil kamera, dan bergegas keluar. Wah ternyata diluar sedang ada tukang sayur. Unik deh cara tukang sayur ini berjualan. Jadi ia berkeliling desa menggunakan motor. Dia akan berhenti di tempat yang biasa digunakan ibu-ibu untuk berkumpul dan mengobrol di pagi hari. Lalu ia akan menurunkan jualannya ke lantai rumah, dan membiarkan ibu-ibu memilik sayuran atau bahan masakan lainnya. Setelah semua selesai, para pembeli juga sudah membayar, ibu tukang sayur akan merapihkan dan mengembalikan jualannya ke motor. Karena biasanya dirumah, tukang sayur hanya berkeliling begitu saja, jadi menurutku cara berjualan disini cukup unik.
Setelah berurusan dengan tukang sayur dan jajanan-jajanan menarik, kami langsung ke rumah Ibu Keri. Ia sudah lama menjadi produsen gula jawa yang sering ia jual di pasar-pasar besar yang terletak di Purwokerto. Hal pertama yang ku sadari adalah harum manis menyengat dari air bunga kelapa yang sedang direbus hingga menjadi karamel.
Setiap pagi, suami dari Ibu Keri ini selalu memanjat pohon kelapa untuk menyadap air dari bunga kelapa menggunakan pongkor (semacam bambu yang digunakan sebagai gelas). Kalau sudah siang, ia akan kembali memanjat pohon untuk mengambil pongkor yang sekarang sudah berisi air bunga kelapa, dan membawanya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, air tersebut akan direbus dan diaduk sampai berwarna coklat tua dan memiliki tekstur yang kental. Biasanya proses memasak gula ini bisa mencapai 5 jam. Dan uniknya, Ibu Keri masih menggunakan tungku untuk memasak gula.
keterangan foto: pongkor
Waktu itu kami datang di saat yang tepat. Ibu Keri sedang mengaduk gula yang berwarna coklat dan kental diwajan. Ia menggunakan alat yang bentuknya serupa dengan dayungan untuk mengaduk cairan kental tersebut. Ia kemudian memberikan kami ujung dayungannya yang penuh dengan gula kental, dan menyuruh kami untuk mengambil sedikit.
"a ah panas" kataku sambil memindahkan gula kental itu dari tangan kananku ke tangan kiriku. Sementara Anja dengan santainya, langsung melahap gula itu. Ia memperlihatkan wajah terkejut sambil mengemut gula yang ada di dalam mulutnya, dan memberikanku dua jempol. Melihat ekspresinya, aku buru-buru memasukkan gula itu ke dalam mulut, sambil mengemut jempolku yang lengket.
Sesaat ketika aku memasukkan gula tersebut, yang kurasakan hanyalah manis yang sangat kental. Ada juga rasa gurih untuk melengkapi kelezatan yang sedang berkobar-kobar di lidahku. Tanpa sadar, ternyata aku sedang merem-melek sambil ngemut gulanya Bu Keri, dan membuatnya terkekeh sedikit. Aku meletakkan kameraku, hanya untuk memberikannya dua jempol tanganku.
Kemudian gula yang tadi masih di panci, ia masukkan ke dalam cetakan-cetakan gula dari bambu, dan menyuruh kami menunggu. Katanya, sebelum benar-benar kering dan mengeras, gula ini akan dengan cepat meleleh dan membuat benda apapun menjadi lengket. Jadi kami harus menunggu sekitar 3-4 jam supaya gulanya benar-benar sudah mengeras.
Sementara kami menunggu, kami berbincang sedikit dengan Ibu Keri tentang program kami dan juga menggali kisah Ibu Keri. Ia memang dari lahir di desa ini, besar dan tua juga di desa ini. Ia memiliki beberapa anak yang sekarang sudah merantau jauh di Jakarta untuk menggapai cita-citanya. Sekarang ia hanya tinggal bersama suaminya, dan memproduksi gula jawa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sebelum kami pulang, Ibu Keri menyuruh kami untuk kembali mengikutinya ke dapur. Dengan cekatan, Ia mengeluarkan dua gula jawa dari cetakan, kemudian memberikannya kepada aku dan Anja. Katany untuk mama hehe. Wah pasti mama seneng banget nih dapet gula jawa enak.
Alev minggat
Sore harinya, kami memutuskan untuk mengunjungi rumah teman-teman yang tinggalnya tidak begitu jauh dari rumahnya Nur. Sekalian mau mengeksplor desa juga. Awalnya kami ke rumah Tia yang bersebrangan dengan rumah Bagas. Kami bertemu dengan Kaysan juga yang sedang menginap di rumah Bagas waktu itu.
Kami bertemu dengan adiknya Bagas yang sangat menggemaskan. Kami juga diperlihatkan beberapa foto-foto lucu yang diambil ketika Kaysan, Bagas, Alev, dan Heri, kemarin saat bermain ke Bukit Gondang. Namun kami tidak singgah begitu lama dirumah Bagas, sebab masih banyak rumah yang ingin kami kunjungi. Kaysan dan Bagas malah ikut dengan kami, jadi seru, ramai!
Rumah Lia menjadi destinasi berikutnya. Kami berjalan mengikuti Nur, Anja, dan Tia yang sudah ada di depan. Aku, Bagas, serta Kaysan hanya bercanda gurau di belakang barisan. Bagas ini anak yang sangat lucu, Ia bisa membuat hal apapun menjadi bahan tertawaan. Aku jadi merasa sangat nyaman bermain dengannya.
Setelah perjalanan menurun yang cukup jauh, kami akhirnya sampai di rumah Lia. Kami disambut hangat oleh sang ibu dan Alfa adiknya. Sore itu, kami disuguh dengan buah pepaya yang segar. Rasanya nikmat sekali menyantap pepaya di hawa panas seperti ini. Sayangnya hari itu, kami masih sedikit canggung dengan Lia dan orangtuanya, jadi tak lama setelah kami menghabiskan pepaya, kami langsung pamit. Inimah namanya numpang makan atuh yak, tapi gapapalah enak heheh.
Akhirnya setelah berpamitan, kami langsung bergegas menuju rumah Heri. Singkat cerita, waktu itu ketika Alev kebagian menginap di rumah Heri, rasa rindunya kepada rumah serta keluarganya sedang berkobar-kobar. Sepertinya ia butuh teman dari oase juga untuk mengerti keadaannya. Sehingga membuatnya seolah-olah tidak betah di rumah Heri. Sayangnya, Alev memutuskan untuk pergi dari rumah Heri dan menginap di rumah Bagas, tanpa izin kepada ibu terlebih dahulu.
Semenjak saat itu, nama 'Alev dari Jakarta' menjadi terkenal di kalangan ibu-ibu orangtua anak pakis. Namun, rumor yang tersebar sedikit beda dengan kenyataanya. Banyak yang mengira Alev takut kepada neneknya Heri, jadi ia memutuskan untuk minggat. Namun kan sebenarnya alasan ia pergi bukanlah karena neneknya Heri.
Jadi ketika kami sampai di rumah Heri, topik pertama yang kami obroli dengan ibunya Heri, adalah tentang kisah minggatnya Alevko dari rumah Heri ahahahah. Kasihan ibunya Heri, ia merasa sangat bersalah kepada Alev, ia sampai saat itu masih mengira bahwa neneknya Heri yang menjadi alasan mengapa Alev pergi. Ia juga meminta kami membujuk Alev datang lagi ke rumah, untuk berpamitan terlebih dahulu.
Disana, saat ibunya Heri bercerita, aku merasa sangat tidak enak kepada ibu. Karena bagaimanapun, aku merasa bahwa Alev juga tanggung jawab kami bersama. Akhirnya disana, hawanya terasa seperti sedang lebaran. Yang ada hanya ibu meminta maaf, dan kami yang juga selalu melontarkan kata-kata maaf. Tapi kejadian ini akan terus menjadi kenangan lucu sih. Terima kasih lev!
Komentar
Posting Komentar