Perpisahan
Selama menginap di rumah Fatul, aku merasa kurang banyak
mengobrol dengan ibu dan bapak. Aku selalu mencoba memulai pembicaraan lebih
dalam, namun hanya dijawab seadanya. Aku mengira mungkin aku melakukan
kesalahan yang aku tidak sadari.
Pagi dari hari terakhir saat aku menginap di rumah Fatul. Ibu
mulai membuka pembicaraan. Ibu meminta maaf padaku karena menurutnya, makanan
yang disajikan untukku, kurang layak. Aku sangat sedih, mengapa ibu bisa
berfikir bahwa makanannya kurang layak? Padahal dirumah, makanan-makananku juga
sama seperti yang ibu masak.
Terjadilah pagi itu, kami sudah seperti lebaran. Saling
maaf-maafan sampai Fatul pun gabung meminta maaf. Ibu menyiapkan bermacam-macam
snack yang bisa aku bawa dan makan di sekolah. Yaampun ibu, bisa-bisanya ibu
merasa kurang melayaniku. Padahal aku yang kurang melayani ibu.
JANTARA
Pagi itu, setelah aku foto bersama dengan bapak dan ibu,
akhirnya kami berangkat sekolah. Di perjalanan yang jauh ke sekolah, aku dan
Anja membicarakan soal keluarga yang kami tempatkan masing-masing. Anja
mendapatkan keluarga yang sangat talkative dan heboh. Sepertinya sangat
menyenangkan.
Sesampainya di sekolah, kami diminta berkumpul oleh Kang Is.
Wah jarang-jarang nih Kang Is meminta kami berkumpul pagi-pagi. Ternyata kami
mendapatkan tugas, yaitu membual yel-yel per kelompok. Seru juga tugasnya, aku
merasa kami jadi bisa menumbuhkan chemistry di kelompok.
Akhirnya, kami memutuskan untuk rapat dan berdiskusi tentang
yel-yel di gubuk literasi. Kami memulai dengan berdiskusi tentang namanya
terlebih dahulu. Juni mengusulkan ‘elang jawa’ sebagai nama kelompok kami, yang
langusng tidak disetujui dengan teman-teman perempuannya. Melihat kejadian ini,
aku langsung teringat diriku saat masih di sekolah. Hal seperti ini pasti saja
terjadi ketika kami berdiskusi.
Disaat kami sedang bercanda-canda dengan nama yang dipilih
Juni, Anja sibuk mencorat-coret buku tulisnya dengan nama-nama kami. “udah ada
ide Nja?” tanyaku padanya yang sedang focus. Dia memberikanku telapak tangannya
sebagai jawaban. Sepertinya sedang kelewat focus dia, jadi kubiarkan dulu.
Giliran kami yang sedang focus mendiskusikan nama-nama
kelompok, Anja tiba-tiba melempar pensil mekaniknya itu dengan pelan, dan
menengok kearah kami dengan mata yang berbinar. Sayangnya binaran di mata itu tak
lama memudar, dan menghilangkan dirinya dibawah tangah Anja.
Bukannya membantu, kami malah menertawakan Anja yang sudah
frustasi. “Makanya njaaa, nih kami mau bantu” ujarku dan langsung disetujui
oleh semua anak. Akhirnya Anja duduk tegak lagi, dan mulai menggenggam pensil
malangnya tadi.
“Juni, Anja, Tia, Ratri Nur, Radit, dan Fatul. Hah apa ya??”
ujar kami bergantian. Kami sudah mulai frustasi dan waktu yang diberikan sudah
mulai menipis. Nama saja belum kami tentukan, bagaimana dengan yel-yelnya? Anja
kemudian merebut pensil dan bukunya dariku, dan kembali mencorat-coret bukunya
itu dengan asal.
...
“JANTARA, iya!” teriak Anja tepat disebelah telingaku. Kami
semua bingung. Apa itu jantara? Sebelum kami bertanya, Anja sudah menjelaskan
tentang arti dari kata buatannya tadi. "Juni, Anja, Nur, Tia, Ratri, Radit, dan
juga Fatul, digabung menjadi jantara". Kami semua masih mencerna penjelasan Anja yang sedari tadi ia utarakan.
"Itu maksa banget sih nja, tapi gapapa lah ya" komentarku, yang membuat teman-teman lain hanya mengangguk-anggukan kepalanya dengan raut wajah yang masih sedikit bingung. Tia kemudian mulai menyanyikan lagu balonku dengan lirik yang ia ganti menjadi kata-kata jantara.
Menurutku, kalau mau membuat yel-yel menggunakan lagu balonku itu sangat mainstream. Jadi aku mulai bersenandung nada-nada yang sedang kucerna di kepala. Namun mengapa nada-nada yang sedang aku pikirkan adalah nada-nada yang sangat mainstream dan aneh? Aku kemudian menarik ingatanku, kapan terakhir kali aku mendengar musik. Dan ternyata sudah 10 hari aku tidak mendengarkan lagu yang 'benar'.
Tak apa, mari kita coba menyambungkan kata-kata JANTARA dengan nada yang barusan kubuat, dan mari kita coba menyambungkan slogan-slogan menarik di yel-yel kami.
Tia
kemudian mengusulkan slogan-slogan lucu tapi bermakna yang bisa kami gunakan di
yel-yel kami.
…
Ketika kami
sampai di kelas, setelah selesai berdiskusi di gubug, teman-teman yang lain sudah
berkumpul. Dengan pelan kami duduk di kursi masing-masing sebelum Kang Is mulai berbicara. Kami kemudian mendengarkan
Kang Is dengan seksama tentang ‘peraturan’ setiap yel-yelnya.
Dalam satu
yel-yel, harus minimal menggunakan 3 bahasa, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, dan juga Bahasa Jawa. Kami sempat panic, karena Kang Is tidak
memberitahu peraturan ini dari awal. Teman-teman kelompok lain pun ikut bingung,
karena kami semua hanya menggunakan satu bahasa.
Kami semua diberi
waktu tambahan untuk kembali merevisi yel-yel yang sudah kami buat. Namun waktu
yang diberi tidaklah cukup untuk merevisi yel-yel, membuat nada lagi, dan
kembali berlatih yel-yel supaya didepan kami tidak bingung.
…
“Okay, kita mulai
dengan kelompok pertama, JANTARA!” panggil Kang Is didepan kelas. Dengan hati
yang berdebar, kami akhirnya maju ke depan sambil menghafalkan kata-katanya.
Juni sudah terlihat sangat tegang, begitu pula dengan Radit.
We are JANTARA, we are JANTARA
Juni, Anja, Nur, Tia, dan Ratri..
Radit dan juga Fatul
Inyong, padha, seneng sinau bareng
Kami JANTARA
Dan begitulah yel-yel kamii yeyyyy. Sudah ah, aku malu.
Pulang bawa beras
Selain hari pembuatan yel-yel, hari ini adalah hari dimana kami pindah ke rumah lain. Biasanya, kami menunggu sore tiba di sekolah dan kemudian diantar ke masing-masing rumah oleh Kang Is dan salah satu temannya (siapapun itu) menggunakan motor. Namun hari ini, temannya Kang Is tidak membawa motor, jadi kami harus pulang dengan teman kami langsung pada siang itu.
Siang itu, ketika teman-teman istirahat, kami (anak-anak oase) membeli sembako untuk para keluarga yang akan kami tempati. Dan beras 4kg, ada didalam list sembako tersebut. Ya kalau biasanya kami membawa beras 4kg tapi kan dibonceng menggunakan motor, kali ini kami harus berjalan pulang sambil membawa sembako-sembako ini.
...
Jam tanganku sudah memperlihatkan angka 14.00 yang mengartikan, sudah waktunya pulang. Kali ini aku kebagian untuk tinggal dirumahnya Tia yang bertetangga dengan Bagas. Untung saja kami pulang bersama, jadi Bagas bisa membantuku mengangkat sedikit sembako yang ku bawa.
Para pejuang sinyal
Sesampainya dirumah, ibu sedang keluar dan adik-adiknya Tia juga sedang tidak ada dirumah. Tia langsung jengkel saat mengetahui bahwa rumahnya kosong. Aku berusaha sangat keras untuk menenangkannya, namun dia tetap saja kesal. Aku sampai bingung sebenarnya kenapa dia kesal.
Tiba-tiba ada yang memanggil kami dari atas. Terlihat ada 2 buah sepeda motor yang sedang parkir diatas tanjakan dekat rumah Tia. Kami pun menghampiri mereka, aku sempat bingung dan mengira mungkin ada urusan sekolah.
Ternyata mereka adalah Nur dan Siswati yang sedang mencari sinyal. Astaga, mereka rela menyetir motor jauh-jauh untuk hanya mendapatkan sinyal yang bagus. Sepertinya tanjakan dirumah Tia, merupakan salah satu tanjakan yang tinggi, jadi sinyalnya kencang dan 4G.
Aku sempat bingung, apa yang mereka lakukan di hp. Setelah kutanya, ternyata mereka semua sedang menghubungi pacar mereka masing-masing. Astaga (2) men. Seketika, jiwa kejombloanku bergetar.
Tia juga memiliki pacar, namun tidak memiliki handphone untuk menghubungi pacarnya. Lagipula untuk apa, setiap hari sang kekasih pasti datang menghampiri Tia dirumahnya. Sayangnya, Sis dan Nur tidak begitu. Jadi mereka harus berjuang dulu sebelum akhirnya bisa menghubungi sang kekasih.
Untung mereka membawakan Kampelan (lontong yang digoreng dengan tepung), jadi aku bisa makan sembari mendengarkan kisah percintaan mereka.
Menyenangkan
Sore itu setelah Nur dan Sis pulang, kami membantu ibu memasak mendoan di dapur. Ibunya Tia adalah ibu yang masih muda dan gaul. Aku sangat menyukainya, ia juga banyak mengobrol denganku. Juga dengan bantuan Tia yang cerewet, aku bisa dengan cepat akrab dengan ibu dan adik-adiknya.
Mulai dari membicarakan tempe, sampai kehamilah ibu terakhir kalinya, semua kami bahas. Dan ibu adalah orang yang sangat terbuka sama sepertiku. Mungkin hal itu juga menjadi salah satu faktor mengapa kami bisa cepat dekat.
...
Malamnya, Bagas datang kerumah dan menagih film yang sudah kujanjikan di sekolah. Akhirnya kami tutup malam itu dengan menonton film yang sama dengan film yang kutonton di rumah Fatul waktu itu. Hanya saja kali ini kami menontonnya sampai habis.
Bagas dan adiknya Tia, Ami menonton dengan sangat fokus. Padahal aku sudah ngantuk, mereka masih menonton dengan seksama.
Kerja bakti
Pagi itu, kami semua berangkat sekolah sambil membawa alat berkebun dari rumah. Katanya kami harus membersihkan sekolah karena pemerintah akan datang dan memeriksa desa.
Menyenangkannya, aku bisa mencoba menyabut rumput-rumput liar menggunakan cungkir milik ibunya Lia. Cungkir adalah alat untuk mencabut rumput, bentuknya mirip dengan cangkul, namun ukurannya lebih kecil dari cangkul.
Kaysan sepertinya sangat bersemangat untuk mencangkul rumput-rumput liar. Badannya basah dari kepala hingga pinggang sudah penuh dengan air keringat dan juga kotor karena tanah yang menyiprat ke badannya. Sementara aku dan Alev hanya mengotori kaki dan tangan kami, muka Kaysan bisa-bisanya juga ikutan kotor.
Kami juga dibawakan banyak sekali makanan. Ada lontong, yang sering mereka sebut sebagai menirang dan ada juga golang-galing. Kopi dan teh juga tersedia untuk melepas dahaga kami setelah bekerja keras mencabuti rumput.
Pencucian pertama kali
Karena hari ini, aktivitas kami sedikit longgar, aku memutuskan untuk mencuci pakaianku. Sudah seminggu lebih kami disini dan belum sekalinya aku mencuci pakaianku. Sementara, Anja sudah mencuci pakaiannya untuk ke 4 kalinya.
Jujur, aku tidak begitu mengerti cara menyuci
baju tanpa menggunakan mesin cuci. Untung ada Anja yang bisa membantuku untuk
menginstruksikan apa saja yang harus kulakukan. Namun, Anja tidak selalu berada
di sisiku selama aku mencucinya. Jadi aku mulai berimprovisasi dengan
menginjak-injak bajuku supaya deterjennya menyerap.
Anja kemudian datang menghampiri toilet dengan
tujuan ingin mengecek apakah aku baik-baik saja dengan pakaian kotorku itu.
Sayangnya, Anja datang disaat yang salah. Anja kemudian menggelengkan kepalanya
saat melihat diriku sedang menginjak-injak bajuku dengan sangat kencang. Ia
kemudian pergi, sepertinya sudah lelah melihatku.
…
Selain baju, aku juga ikut membantu
teman-teman mencuci piring kotor setelah kerja bakti. Kami mencuci piring yang
banyak itu didalam satu toilet. Agak asing sebetulnya, karena biasa aku mencuci
di bak cuci piring. Namun lama-kelamaan aku bisa menyesuaikan diri kok. Seru
malah menurutku, untuk mencuci di toilet, jadi basah-basah gimana gitu.
Silaturahmi
Siang hari ini, aku, Tia, dan Ami adiknya, memutuskan untuk mengunjungi rumah teman-teman yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahnya. Pertama, kami ke rumah Nur untuk sekalian kangen-kangenan dengan masakan ibu hahahah. Walaupun dirumah, ibunya Tia memasak jamur merah, nafsu makanku selalu saja muncul kalau ditawarkan makan oleh ibunya Nur.
Akhirnya aku makan dan berbincang sebentar disana. Ibu menceritakan perjalanannya ketika ada acara di Germanggis. Katanya, indah sekali pemandangan yang bisa kita dapatkan disana, dan juga kebun teh yang tersedia sangatlah hijau.
Setelah kami ke rumah Nur, kami lanjut berkunjung ke rumah Puri yang jaraknya sangat dekat dengan rumah Nur. Nur dan Elisa pun ikut serta dengan kami. Akhrinya kami jalan ke rumah Puri ber-5.
Aku lupa kalau Naufal sedang menginap di rumah Puri. Jadi aku cukup terkejut saat mendapatkannya disana. Rumah Puri sangatlah besar. Terdapat beberapa kandang binatang didepan rumah tepat sebelum pintu masuk.
Kami disambut sangat hangat oleh ibunya Puri. Beliau adalah orang yang sangat meyenangkan. Ia memijat pundakku, menyuguhku dengan teh, bahkan menawarkanku makan berat di rumahnya. Ah aku tidak bisa menolak, namun aku sudah sangat kenyang (help). Akhirnya aku mengambil sedikit nasi dan juga sepotong tahu.
Ketika sedang makan, tiba-tiba kami mendengar ada suara familiar yang mengucapkan salam di pintu depan. "Lho kay, dit- eh ada Heri!!" ucapku dengan mulut yang masih peuh dengan nasi dan tahu. Suara tersebut ternyata adalah suara milik Kaysan yang sedang bersama Radit dan Heri. Rupanya mereka punya pemikiran yang sama dengan kami, untuk mengunjungi rumah teman-teman.
Cacar air
"Aaahh cacar'e nyooong" keluhan tersebut membuatku tersadar dari mimpiku yang menyenangkan. Tia yang sedang mengamati dirinya di kaca, langsung kembali merengek saat melihat diriku sudah terbangun. Aku yang beru tersadar dari tidur, merasa sedikit bingung apa yang sebenarnya terjadi.
Aku kemudian hanya menenangkannya, walaupun masih tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi kepada Tia. Setelah dia mulai sibuk mengamati wajah dirinya di kaca, aku diam-diam mengambil handuk dan kabur untuk mandi. Wow mendengar rengekan perempuan tentang kecantikannya itu sangat menjengkelkan dan melelahkan ya.
Kamar mandi di rumah Tia itu berada di luar. Jadi aku harus keluar membawa handuk dan baju ganti di pagi yang sangat dingin ini hanya untuk mandi. Pagi itu, airnya lebih dingin dari biasa, dan jumlah kodok yang sedang bersantai di kamar mandi juga jauh lebih banyak. Coba kalau Anja melihat kodok sebanyak ini, pasti dia sudah lari tebirit-birit atau malah pingsan?
...
Sesampainya diriku di rumah setelah mandi, rengekan Tia masih menggelegar. Apa aku terlalu cepat mandi, tanyaku yang sudah punya pikiran untuk kembali ke kamar mandi untuk menyelamatkan diriku sendiri. Tapi di kamar mandi terlalu dingin untuk hanya bersembunyi.
Ternyata Tia sedang diperiksa dengan ibunya. Dan ibunya bilang bintik-bintik yang ada di badan Tia memang benar adlah cacar air. Mengetahui hal itu, rengekan Tia makin menjadi-jadi. Masih pagi, kok ya sudah bikin orang pusing ya.
Relawan
Siang itu disekolah, kami mendapatkan kunjungan menyenangkan dari kakak-kakak relawan mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari Bank Indonesia. Ternyata kedatangan mereka kali ini bukanlah kedatangan mereka yang pertama kalinya. Mereka sudah pernah datang 2 minggu kemarin.
Teman-teman pakis langsung menghampiri mereka dan menjabat sekalian memberi salam kepada kakak-kakak relawan. Mereka kemudian bertanya kami dari mana. Kami berbincang sedikit soal program kami, dan sepertinya mereka sangat tertarik dengan program ini. Sayangnya kami tidak bisa berbincang terlalu lama karena kelas sudah mau dimulai.
Hari ini kami akan belajar berbagai bahasa. Yaitu bahasa Inggris dan Jawa. Untuk bahasa inggris, kami belajar spelling dari kata-kata yang simple. Kami dibagi menjadi kelompok, dan masing-masing kelompok harus mengeja setiap katanya dengan benar. Maka dari itu, kami harus hati-hati dengan setiap ejaan kami.
Untuk bahasa jawa, kami belajar aksara jawa. Ini adalah pelajaran yang paling aku suka mungkin. Aksara jawa adalah hal yang sangat baru untukku. Walaupun mbah kakung adalah seorang ahli dalam hal ini, aku tetap saja tidak mengerti apa-apa tentang aksara jawa.
...
Setelah semua pelajaran selesai, aku berniat untuk pergi makan karena perutku mulai lapar. Namun Kak Tiwi, salah satu relawan membuka pembicaraan denganku tentang homeschooling dan program kami lebih dalam. Sangat menyenangkan sebenarnya, berbincang dengan mereka.
Awalnya, hanya aku yang diajak bicara karena Anja dan yang lainnya sudah keburu keluar dan melakukan aktivitas diluar. Kemudian ditengah pembicaraan, Kaysan menghadirkan dirinya dan ikut berbincang dengan kami.
Tongkol
Siang itu kami tidak berlama-lama disekolah. Kami memilih untuk pulang dan berbincang-bincang saja dirumah. Ibu menyambut kami sambil menggendong Wulan, anak ketiganya. Ia kemudian menawarkan kami untuk makan siang. Hampir saja aku menolak tawaran ibu, karena sudah makan disekolah. Namun saat melihat suwiran ikan didalam mangkok, aku langsung bertanya kepada ibu.
"ibu ini ikan....."
"iya itu ikan tongkol, kenapa kamu gak suka ya?"
Bahkan sebelum ibu selesai berbicara, aku sudah menyiduk nasi ke piring di tanganku ini. Kemudian aku mengambil sesendok penuh dari mangkok ikan tongkol, dan langsung melahapnya dengan nikmat. Wah benar-benar makanan yang mengingatkan diriku pada rumah. Seketika aku langsung merindukan masakan-masakan mama.
Sepertinya aku baru melahap 4 suap deh, kok sudah mau habis ya? Tanpa berpikir panjang kemana perginya semua nasi di piringku tadi, aku kembali menyendokkan nasi keatas piringku kemudian menambah suwiran ikan tongkol tadi. Makan siang kali itu, Tia terus menerus bercerita tentang kekasihnya yang begitu dia puja. Sementara aku terus menerus menambah nasi dan ikan tongkol yang lezatnya kelewatan!
Melihat Pohon Manggis
Minggu pagi, dimulai dengan mendengar tangisan Wulan, adik terakhirnya Tia yang terbangun karena apapun itu. Oleh karenanya, aku terbangun dan mendapatkan diriku sedang memeluk Tia yang masih terlelap. Aku cukup terkejut karena di mimpiku, aku sedang memeluk mama. Ah membingungkan.
Pagi itu kami dihampiri oleh Lia yang mengajak kami untuk pergi ke kebun bersama Anja dan Kaysan juga. Wah sepertinya asyik nih. Tanpa basa-basi, aku langsung menyetujui ajakannya tersebut. Saat mendengar jawabanku, Tia langsung bergegas mandi sementara aku dan Lia bermain dengan Wulan.
Setelah semuanya selesai, kami bergegas pergi menuju rumah Lia. Ibu dan bapak berpesan kepada kami untuk tidak bermain ke curug karena berbahaya. Karena kami diajak untuk pergi ke kebun, kami mengiyakan pesannya tersebut.
Diperjalanan, kami berbincang-bincang sambi becanda. Sepanjang jalan, Lia memperkenalkan tumbuhan-tumbuhan yang ada disekeliling kami. Semua tumbuhan kuanggap biasa saja, sampai Lia memperkenalkan pohon manggis.
"Oh manggis itu ada pohonnya?" tanyaku kepada Lia,
"Ya ada lah mbak, ngko nek oranana pohone, kepriwe tumbuhna?", jawab Lia
(ya ada lah mbak, nanti kalau tidak ada pohonnya, bagaimana tumbuhnya)
Mengetahui aku yang belum pernah melihat pohon manggis sebelumnya, Tia menertawakanku di sepanjang perjalanan. Ia masih terjekut bahwa ada orang yang belum pernah melihat pohon manggis.
Mengumpulkan getah
Aku menyapa ibu dari Lia setelah masuk ke dalam rumah. Kami disambut oleh upin & ipin yang sedang bersedih karena Ehsan pindah rumah di TV. Ibu seperti terkejut melihat aku yang hanya menggunakan kaos oblong. Ia kemudian menawarkanku untuk menggunakan baju berlengan panjang miliknya.
Katanya, di hutan kami akan bertemu banyak nyamuk. Maka dari itu saran ibu, sebaiknya kami menggunakan lengan panjang. Sayangnya aku tidak punya kaos lengan panjang dan saat itu aku sedang tidak menggunakan jaket. Akhirnya aku menerima pinjaman baju mitra kehutanan dari ibu.
Setelah semua berkumpul (Radit, Anja, Kusmilah, Tia, Kaysan, dan Lia), kami berangkat ke kebun melewati sawah. Kami harus berjalan ditengah-tengah sekat sawah untuk mencapai tujuan kami. Perjalanan kami sudah berlumpur sejak awal.
Kemudian
kami harus berjalan nanjak cukup lama sebelum kemudian sampai di kebun kapulaga
dan pinus. Ibu membawa ember dari rumah untuk menampung getah pohon pinus yang
akan kami kumpulkan bersama. Awalnya Lia mencontohkan cara menyiduk getah dari
batok kelapa yang digunakan untuk menampung getahnya dari pohon. Kemudian
ditiru dengan Kaysan yang juga membawa alat untuk menyiduknya.
Entah mengapa setelah teman-teman menyidukkan getah pinus dari batok kelapa, aku langsung mencium bau minyak kayu putih yang sangat kuat. Aku kira ada yang sedang mengoleskan minyak kayu putih ke kulit yang tergigit nyamuk. Namun ternyata aku salah. Baunya itu berasal dari getah pinus tersebut. Wah aku baru tahu bahwa getah pinus memiliki bau yang mirip dengan minyak kayu putih.
Kami semua kemudian
mencoba satu-persatu. Ternyata cukup menyenangkan ya melakukan hal ini. Ada
beberapa getah yang susah diambil karena sudah kering, namun ada juga yang
terlalu encer hingga membuat tangan kami lengket.
Pemadam kebakaran
Setelah lelah mengumpulkan getah, kami memutuskan untuk beristirahat sebentar dibawah salah satu pohon pisang. Lia kemudian membakar sepotong kulit pohon pinus dengan segumpulan daun pinus yang sudah kering dan rontok ke tanah.
Kami khawatir jika apinya terlalu besar akan mengakibatkan kebarakan hutan, karena kondisi hutan saat itu memang sangat kering. Ibu menyuruh kami untuk menambahkan daun pinus supaya bisa memperkecil apinya. Namun bukannya padam, apinya malah tambah besar dan asapnya bertambah banyak.
Akhirnya Kaysan sang pemadam kebakaran yang memiliki ide banyak, turun tangan. Ide pertamanya adalah untuk mengambil segumpulan daun pinus dari tanah, dan meludahinya berniat ingin melembabkan daunnya dan menumpuknya diatas api. Sayangnya gagal.
Ide berikutnya adalah untuk meminum air dan kemudian menyemburkannya ke arah sumber api. Ia melakukannya dengan botol minum milik Anja. Sepertinya dia terlalu asyik dengan menyemburkan air dari mulutnya, hingga menghabiskan air minum Anja.
Ide terakhirnya adalah memukul-mukul sumber api dengan sandalnya. Astaga, anak itu benar-benar heboh. Kemudian ia nyeker untuk beberapa saat karena sandalnya panas katanya.
Curug, here we come!
Kami semua setuju dengan ide untuk pergi ke Curug Cipendok, yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempat kami berada. Bapak dan ibu tidak ikut bersama kami karena masih sibuk mengumpulkan getah pinus.
Akhirnya kami berjalan sendiri. Perjalanan ke curug, melewati beberapa tipe jalan. Ada jalanan landai yang hanya dilapisi tanah dan rumput. Ada juga jalanan landai berbatu, dan ada juga perjalanan terjal dengan batu yang licin.
Perjalanan kami cukup menyenangkan. Kami harus menyebrangi sungai yang cukup mengerikan dan membuat jantung berderbar sedikit terlalu cepat. Walaupun arusnya tidak deras, kami harus melompat dan memanjat beberapa batu besar.
...
Air terjun akhirnya mulai terlihat dari tempat peristirahatan kami. Embun dari cpiratan curug juga sudah mulai terasa. Tanpa sadar kami sudah sampai di kawasan pariwisata Curug Cipendok.
Dari kejauhan aku melihat seseorang yang sosoknya tidak begitu tinggi, dengan kepala tidak berambut yang duduk disebelah Kaysan, sambil berbincang dengannya. Kemudian muncullah Heri. Oh ternyata orang yang tadi kulihat adalah bapaknya Heri.
Kami kemudian dipandu oleh bapaknya Heri. Dan kemudian diceritakan asal-usul curug ini. Dulu, air dibawah curuh belum secetek ini, namun karena longsor, terjadilah tanahnya menutup kolam yang dalam. Sebelum longsor, kedalaman kolam dibawah curug bisa mencapai 80M.
...
Kami mulai mendekat dengan curug dan mencuci muka dengan airnya. Wah benar-benar dingin ya airnya. Dan udara diluar juga sejuk ditambah dengan angin yang berhembus kencang membuat kami menggigil walaupun hanya membasahi wajah kami.
Pada pukul 13.00, kami memutuskan untuk pulang karena sudah siang. Jalanan yang kami tempuh lumayan melelahkan, mungkin karena sepatu sendalku sedikit kebesaran. Dan tak lama setelah kami berjalan, kami akhirnya bertemu dengan ibunya Lia yang sedang menunggu di pertigaan.
Akhirnya kami beristirahat disana sebentar sambil makan siang menggunakan alas daun. nyangkuh yang ibu petik barusan. Walaupun lauknya hanya sayuran pakis, namun mengapa rasanya begitu lezat ya? Siang itu, kami melahap makanan yang dibawakan ibu dengan sangaaaaattt nikmat.
Komentar
Posting Komentar